TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sosiolog Universitas Indonesia (UI) Tamrin Amal Tomagola sependapat dengan mayoritas responden dalam survei opini publik yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terkait isu komunisme di Indonesia.
Mayoritas responden (75,1 persen) tidak setuju dengan isu bahwa Presiden RI Joko Widodo ( Jokowi) adalah seorang kader atau simpatisan Partai Komunis Indonesia ( PKI), atau terkait dengan PKI.
"Saya sepakat dengan para responden, bahwa tuduhan Jokowi seorang PKI itu tidak berdasar," kata Tamrin dalam paparan hasil survei di Kantor SMRC, Jakarta, Jumat (29/9/2017).
Tamrin menuturkan, ada banyak syarat untuk menyebut atau mengidentifikasi seseorang berpaham komunisme atau marxisme.
Kadang kala, orang mencampuradukkan antara keduanya. Padahal, tidak semua marxisme itu adalah komunisme.
"Kemudian kalau kita menuduh orang marxis juga repot. Karena saya melihat banyak orang yang berpikir ke 'kiri-kirian', tetapi bukan (berpaham) marxisme, apalagi komunisme," kata Tamrin.
Dia melanjutkan, malah kebanyakan orang yang bicara terkesan ke "kiri", berjalannya justru ke "kanan".
Baca: Nobar Film G30S/PKI di DPP Partai Gerindra, Anak-anak Ikut Hadir
Oleh karena itu, dia pun tidak percaya apabila ada seseorang yang bisa sangat konsisten sebagai marxis atau seorang komunis.
Pada akhirnya, kata dia, susah sekali memberikan cap kepada seseorang sebagai orang yang memiliki karakter atau paham tertentu.
Akan tetapi, kata Tamrin, kalau ingin menilai Jokowi maka nilailah dari kebijakannya.
"Kalau saya nilai sejauh ini, dari kebijakannya itu jelas bukan seorang komunis, jelas bukan marxis, tetapi seorang kapitalis negara, istilahnya state-capitalism," ucap Tamrin.
Seorang kapitalis negara ingin memperbesar kapital atau daya yang dimiliki negara lewat korporasi yang dimiliki, dalam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
"Jadi, mengatakan Jokowi seorang komunis itu sama sekali salah. Dia seorang state-capitalist," tutur Tamrin.