TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Agung mengungkapkan masih terbuka peluang bagi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menetapkan kembali Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012.
Kepala Biro Hukum dan Mahkamah Agung, Abdullah mengatakan kewenangan tersebut dijamin dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Namun Abdullah mengingatkan bahwa menurut Perma tersebut, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka harus menggunakan alat bukti yang baru.
"Tentunya harus disidik ulang dengan alat bukti yang baru, yang belum diajukan dalam proses praperadilan tadi. Kalau semuanya sudah disampaikan, sama sekali tidak ada yang tersisa, nah ini tugas berat bagi penyidik," kata Abdullah di kantornya, Jakarta, Jumat (6/10/2017).
Kata Abdullah, penyidik masih dimungkinkan menggunakan alat bukti yang dimiliki KPK yang ditolak oleh hakim tunggal Cepi Iskandar. Alat bukti tersebut dianggap belum pernah diajukan ke persidangan.
"Syukur kemarin banyak ditolak. Barang kali itu alat bukti yang baru dan tidak pernah diajukan dalam sidang," ungkap Abdullah.
Sebelumnya, Hakim Cepi Iskandar memutuskan penetapan ketua umum DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka korupsi e-KTP tidak sah karena tidak sesuai dengan prosedur yang di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KUHAP dan SOP KPK.
Menurut Hakim Cepi, KPK menggunakan Surat Perintah Penyidikan milik terdakwa e-KTP yakni Irman, Sugiharto yang berkasnya disatukan dan Andi Narogong. Sprindik tersebut kemudian digunakan untuk memeriksa saksi, melakukan penyitaan, dan memperoleh bukti-bukti.
Hasil pemeriksaan, penyitaan, dan bukti-bukti tersebut kemudian digunakan untuk perkara Setya Novanto.