TRIBUNNEWS.COM - Film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI berhenti diputar seiring runtuhnya rezim Soeharto tahun 1998. Namun 19 tahun kemudian, sebuah sekolah swasta di Depok menggelar nonton bareng.
Tapi baru 30 menit film diputar, yang nampak justru beberapa siswa mengantuk dan akhirnya tertidur. Lalu apa respon mereka kelar nobar?
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Kepala Maulana Zakky berulang kali nyaris beradu dengan lutut. Pemuda 16 tahun itu berjuang menahan kantuk. Lewat satu setengah jam, Zakky takluk. Ia tertidur ditemani suara sember dari video yang kualitasnya buruk.
Begitu film berakhir, pelajar kelas X di SMK Muhammadiyah I Depok ini, melek. Beberapa orang malah keluar-masuk ruangan utama masjid, demi mengusir bosan. Tapi akhirnya menyerah dan tertidur jelang menit ke-30.
“Kurang paham. Kurang detail. Pembunuhan 7 jenderal paling (yang membuat melek). Jenderal Ahmad Yani paling (saya) ingat. Tadi ngeliat pas seriusnya di situ, terus udah mulai ngantuk-ngantuk. Pas lagi di rumahnya, terus sama tentara-tentara itu. Kurang tahu itu PKI atau gimana,” jelasnya.
Pemutaran film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI tak lepas dari perintah Panglima TNI Gatot Nurmantyo yang memerintahkan jajarannya menyaksikan kembali karya Arifin C. Noer itu. Panglima beralasan, nobar ini bertujuan untuk mengingatkan kepada seluruh prajuritnya tentang peristiwa kelam tersebut.
Tapi belakangan sejumlah kalangan antara lain; sekolah, partai politik, dan televisi swasta, juga melakukan hal serupa.
Film ini sendiri diproseduri Nugroh0 Notosutanto, Menteri Pendidikan era Soeharto. Produksinya dilakukan di bawah Perusahaan Film Negara (PFN). Anggaran Rp800 juta dihabiskan untuk membiayai dua tahun proses produksinya.
Sejak 1984, film itu menjadi tontonan wajib setiap 30 September. Di tanggal itulah, seluruh layar lebar dan stasiun TVRI menayangkannya. Pemerintah Orde Baru mewajibkan setiap siswa, pegawai negeri sipil, hingga perusahaan daerah menonton.
Adegan pertama film dibuka dengan penggambaran rencana aksi DN Aidit merebut kekuasaan dari tangan Sukarno.
Adegan rapat rahasia yang dipenuhi kepulan asap rokok dan ekspresi tegang Aidit, hingga adegan berdarah ketika para jenderal ditembak pasukan Tjakrabirawa.
Hampir seluruh paruh kedua film, sosok Soeharto yang kala itu menjabat Pangkopkamtib ditonjolkan. Bagaimana perannya dalam operasi penumpasan PKI di hari sesudah 30 September.
Sutarsa adalah Guru Sejarah Ramadhan dan Zakky. Dia yakin apa yang ditampilkan di film, 100 persen fakta sejarah. Menurutnya, ketika buku pelajaran tidak lagi banyak memuat materi soal Partai Komunis Indonesia, film menjadi sumber lain bahan pengajaran.
Film propaganda Penghianatan G30S/PKI, hingga kini masih diperdebatkan. Melalui medium itu, Hafiz Rancajale –seorang pembuat film dokumenter, meyakini betapa film bisa begitu efektif mencuci otak publik dengan menghadirkan sejarah yang direka oleh militer Orde Baru.
Film itu juga, kata dia, membangun stigma (stempel) tertentu terhadap peristiwa 1965, terhadap para korban, trauma terhadap kejahatan PKI.
Dia juga menyebut film tersebut sangat tidak baik bagi anak-anak sekolah. Sebab bisa menimbulkan ketakutan mendalam, terutama karena memperlihatkan kekejaman dari pihak yang disebut Partai Komunis Indonesia PKI.