"Kemudian juga menghadapi perbedaan kultur di sana antara kita dengan afrika dan sebagainya. Di antara orang Afrika (pada saat itu) friksi itu cukup tinggi. Untuk underestimate kepada seseorang, rasialis itu tampak sekali diantara orang (yang tengah berkonflik) ini. Tidak seperti orang Indonesia dan Asia Tenggara, friksi itu tidak terlalu tinggi, biasa saja,” kata Triadi.
Baca: Ketika Zulkifli Hasan Singgung Polemik Kata ‘Pribumi’ Di hadapan Prabowo
Hal senada diceritakan Letnan Kolonel (Inf) TNI Singgih PA yang bertugas di negara lain, yaitu di Darfur, Sudan.
Sebelum berangkat ke Sudan, Singgih telah mempersiapkan berbagai hal.
Selain mempelajari informasi intelijen, cara bersosialisasi di sana pun menjadi bahan yang perlu diingat.
“Semua penugasan TNI selalu mendapatkan informasi dari intelijen. Bagaimana kondisi geografis, demografis masyarakatnya, dan kondisi sosial disana. Dan di sana kita menyiapkan. Dan kita dilengkapi itu,” ucap Singgih.
Menurut Singgih, culture shock ketika menetap di suatu negara asing adalah hal biasa. Meski secara perlahan harus mampu menyesuaikan diri dengan budaya yang ada.
Baca: Projo Siap Bela Kemenhumkam Hadapi Gugatan HTI
“Mungkin kalau di sana, di Sudan itu tak salaman tapi pegang bahu,” kata Singgih menjelaskan salah satu interaksi dengan warga lokal di sana.
Hal lain yang membuat Singgih bersyukur sebagai bangsa Indonesia ketika berada di wilayah konflik bahwa di tengah keberagaman, ada rasa saling menghormati dan menghargai.
“Saya pernah melaksanakan patroli verifikasi, ada kontak senjata yang suku petani yang black african dengan kelompok nomaden. Yang satu sisi meninggal 9 satu 11. Setelah kita verifikasi karena ternak yang gembala ini memakan satu pohon petani. Karena menebang satu pohon, bisa nyawa melayang,” ucap Singgih.
Baca: Dua Perampok Pura-pura Jadi Tamu Lalu keluarkan Senjata Api dan Tembak Korbannya
Bagian yang membuat Singgih bersyukur berada di Indonesia tidak hanya keberagaman namun tetap harmonis saja, tetapi juga sumber daya alam atau tanah yang subur, yang bisa dinikmati banyak orang.
Ia bercerita bagaimana sulitnya air bersih di sana, sehingga saat patroli, terpaksa ia meminum air keruh ataupun meminta kepada masyarakat setempat meski airnya pun tidak bersih.
“Mohon maaf bagaimana masyarakat dsana. Padang pasir, jarang air, jadi kebersihan itu tidak terjaga. Tapi sedapat mungkin kita tak menunjukkan itu. Kita datang ke kepala suku dikasih air, yang air keruh, ya kita minum,” ucap Singgih.