TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sampai saat ini aturan pembelian senjata api di Indonesia masih tumpang tindih.
Menteri Pertahanan (Menhan), Ryamizard Ryacudu, menyebut pemerintah masih mengkaji agar ada aturan tunggal, yang bisa dijadikan acuan oleh semua pihak untuk pembelian senjata.
"Masih dibicarakan, tidak gampang itu," ujarnya kepada wartawan di Ponpres, Al Hikam, Beji, Depok, Jawa Barat, Selasa (31/10/2017).
Polemik pembelian senjata, muncul saat Oktober lalu, Polri membeli 280 pucuk Stand Alone Grenade Launcher (SAGL) Kal 40 x 46 milimeter, dan 5.932 butir peluru.
Senjata tersebut akhirnya ditahan di bandara Seokarno - Hatta, atas rekomendasi Badan Intlijen Strategis (BAIS) TNI.
Baca: JK Sudah Bicarakan Soal Reklamasi ke Anies Baswedan
Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto, akhirnya memanggil Kapolri Jendral Pol. Tito Karnavian dan Pannglima TNI. Jendral TNI. Gatot Nurmantyo.
Akhirnya pemerintah menyepakati bahwa penahanan senjata disudahi, namun ribuan butir peluru yang dibeli dititipkan di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.
Wiranto dalam konfrensi persnya pada 6 Oktober lalu, mengakui bahwa aturan pembelian senjata memang masih tumpang tindih.
Rencananya pemerintah akan membentuk tim, yang antara lain terdiri dari Menhan, untuk membahas mengenai aturan yang bisa dijadikan acuan tunggal.
Menhan kepada wartawan di Ponpes Al Hikam, menegaskan walaupun belum ada aturan yang bisa dijadikan acuan, semua aturan yang ada yang masih dianggap tumpang tindih itu, tetap bermuara di satu lembaga, yakni Kementerian Pertahanan.
"Yang jelas semuanya rekomendasi kementerian pertahanan, apapun undang-undangnya," ujarnya.