TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak perlu mengantongi izin dari Presiden RI, Joko Widodo, hanya untuk memeriksa Ketua DPR RI Setya Novanto.
Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyebut bahwa hal itu karena kasusnya terkait kasus korupsi.
Oleh karena itu pasal 245 ayat 1 Undang-Undang (UU) nomor 17 tahun 2004 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR harus seizin presiden, tidak berlaku.
Karena di ayat 3 dituliskan bahwa aturan tersebut tidak berlaku jika terkait tindak pidana khusus.
"Korupsi itu adalah tindak pidana khusus dan KPK tidak perlu izin dari Presiden. Tersangka atau tidak, KPK tidak perlu izin presiden," katanya.
Baca: Penjelasan Plt Sekjen DPR yang Surati KPK Minta Periksa Setya Novanto Harus Seizin Presiden
Setya Novanto atau yang dipanggil Setnov, terseret kasus korupsi e-KTP, terkait sepak terjangnya di Komisi II DPR RI, pada kurun waktu 2009-2014 lalu.
Pada 17 Juli lalu, KPK sempat menetapkan status tersangka untuk Setnov.
Saat hendak diperiksa sebagai tersangka, ia mengaku sakit,
Kesehatannya baru pulih setelah menang di praperadilan.
Jika Setnov gagal memahami pasal di UU MD3 dan memutuskan untuk menghindari pemeriksaan, menurut Julius Ibrani, sang Ketua DPR akan merasakan sendiri konsekuensinya.
Ia akan dianggap tidak kooperatif dan hal itu akan jadi pertimbangan hakim dalam memutuskan.
"Dia dianggap tidak kooperatif, tidak memiliki itikad baik, tidak mengikuti proses hukum yang berjalan," katanya.
Sedianya hari ini, Senin (6/11/2017), Setnov diagendakan untuk diperiksa oleh KPK.
Namun ia tidak memenuhi panggilan lembaga anti rasuah tersebut dengan berkilah bahwa sebagai anggota DPR, KPK perlu mengantongi izin dari presiden untuk memeriksa dirinya.