TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama 15 detik, terdakwa Anggota DPR RI Musa Zainuddin menarik nafas berat.
Dia berhenti berbicara dan akhirnya menangis ketika membacakan nota pembelaan pribadi atau pledoi di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (8/11/2017).
Tangis Musa itu pecah ketika persidangan sudah melewatkan lebih dari setengah jam sejak dimulai.
Tangis Musa karena dia mengaku tidak mengerti sebab Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi menjerat dia dengan tuntutan yang berat.
Musa menghadapi tuntutan pidana penjara 12 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair enam bulan kurungan.
Baca: Relawan Papua Rogoh Kocek Pribadi Demi Hadiri Pernikahan Kahiyang-Bobby
"Yang tidak saya mengerti mengapa Jaksa Penuntut Umum harus melakukan spekulasi untuk menjerat saya. Apakah kaidah-kaidah pembuktian yang obyektif harus mengorbankan hanya untuk jerat seseorang yang dipersepsikan bersalah dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum," kata Musa dalam tangisnya.
Musa merasa dipojokkan karena dituntut yang berat dan berlapis karena dinilai terbukti menerima suap Rp 7 miliar dari Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir terkiait proyek pembangunan infrastruktur di Maluku dan Maluku Utara.
Musa mengaku terkejut saat surat tuntutan itu dibacakan. Menurut Musa, surat tuntutan yang ditujukan terhadap dirinya tidak sesuai terhadap fakta-fakta persidangan.
Musa menuding jaksa telah mengabaikan sejumlah fakta penting yang berakibat fatal terhadap penyusunan surat tuntutan.
"Banyak keterangan saksi yang dikesampingkan. Banyak bukti surat dan petunjuk yang tidak ada kaitan dengan perkara ini. Hanya spekulasi Jaksa Penuntut Umum atas rangkaian cerita yang manipulatif. Malah lebih ekstrim saya bilang banyak hoax dalam tuntutan ini," ujar politikus Partai Kebangkitan Bangsa itu.
Musa mengatakan harusnya jaksa KPK sadar bahwa dakwaaan terhadap dirinya tidak bisa dibuktikan. Musa menegaskan dirinya tidka pernah dimintai persetujuan maupun konfirmasi terkait daftar kegiatan yang ada di rekapitulasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebagai pelaksana proyek tersebut.
Tidak ada satu saksi pun yang menerangkan ada proyek yang dihubungkan atas namanya kata Musa. Musa, kata dia, tidak pernah melakukan kesepakatan dengan Abdul Khoir atau dengan Komisaris PT Cahaya Mas Perkasa So Kok Seng alias Aseng.
Musa merasa memiliki sikap mendua terhadap penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi dia sebagai warga negara bangga pada penegakan hukum untuk menciptakan pemerintahan yang bersih namun di sisi lain dia kecewa dalam penegakan hukum ternyata jaksa sangat mudah merangkai cerita tanpa dasar fakta yang jelas dan gampang menarik interpretasi.