TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) menilai imbauan pelarangan peredaran rokok elektrik di Indonesia harus melalui kajian ilmiah terlebih dahulu dan tidak didasarkan pada keputusan emosional.
Pemerintah diminta untuk lebih melihat hasil kajian ilmiah internasional yang justru membuktikan bahwa rokok elektrik atau vape berhasil menurunkan jumlah konsumsi rokok dengan cara dibakar.
Vape juga terbukti memiliki kandungan yang jauh lebih rendah risikonya bagi kesehatan.
"Rekomendasi untuk pelarangan vape dari beberapa pihak hendaknya berkaca pada negara-negara yang akhirnya mendukung vape hingga dibuatkan suatu regulasi karena potensi manfaat yang dimilikinya. Namun, kondisi tersebut nampaknya belum berlaku di Indonesia," ujar Dimasz Jeremia, perwakilan grup konsumen KABAR yang juga merupakan pembina Asosiasi Vaper Indonesia Indonesia dan pendiri Tar Free Foundation, Selasa (5/12/2017).
Ia mengatakan, di Inggris dan Jepang, pemerintahnya justru menerapkan aturan yang lebih lunak pada vape dan produk tembakau alternatif lainnya.
Di Inggris, lebih dari 2,2 juta perokok telah berhasil berhenti total setelah beralih mengkonsumsi rokok elektrik selama lima tahun.
"Sedangkan di Jepang, rokok elektrik dapat memberikan dampak pada turunnya prevalensi merokok secara drastis dalam dua tahun terakhir. Sayangnya, fakta ini tampak tidak digubris oleh beberapa pihak,” kata Dimasz.
Baca: Menjual Vape di Tempat Tertentu, Solusi vape anti-narkoba?
Melihat potensi yang dimiliki, kedua negara tersebut menerapkan kebijakan yang sangat hati-hati kepada produk tembakau alternatif dan bentuk kebijakan yang diambil lebih cenderung menuju arah pengawasan bukan pelarangan.
Selain itu, bentuk peraturan lain seputar vape juga dikeluarkan oleh Food and Drug Administration di Amerika Serikat pada Agustus 2017 dan peraturan anti tembakau akan difokuskan pada strategi pengurangan risiko, salah satunya melalui produk tembakau alternatif seperti vape, nikotin tempel, snus, serta produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar.
Dua negara maju lainnya seperti Selandia Baru dan Kanada juga sedang merumuskan regulasi baru yang lebih lunak dalam mengatur produksi dan peredaran vape di negara masing-masing.
Terpisah, peneliti dari Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Indonesia Dr. Amaliya mengharapkan agar semua hasil penelitian terkait vape yang sudah terbit sampai saat ini di kalangan peneliti dapat dijadikan bahan acuan perumusan regulasi, agar regulasi yang dikeluarkan tidak berujung kontraproduktif.
Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, sempat menyatakan untuk meminta pemerintah melarang peredaran vape.
Namun, pernyataan tersebut idak berdasarkan data dan fakta yang terjadi di lapangan.