TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hadi Tjahjanto mengikuti proses 'fit and proper test' atau uji kepatutan dan kelayakan sebagai calon Panglima TNI di hadapan Komisi I DPR RI di komplek Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (6/12/2017).
Dalam pemaparannya itu, ia menjelaskan soal dinamika terjadi di dunia pada dewasa ini.
Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa dengan berakhirnya polarisasi Barat dan Timur pascaruntuhnya Uni Soviet, maka kekuatan-kekuatan baru kini muncul.
Hal itu sedikit banyaknya menghadirkan tantangan baru bagi semua pihak.
"Kondisi ini nampaknya akan stabil untuk beberapa dekade ke depan," ujarnya.
Ancaman terhadap kedaulatan suatu negara di era moderen ini menurutnya juga sudah berubah.
Ancaman tersebut tidak hanya dalam dimensi militer.
Baca: 8 Fakta Menarik tentang Calon Panglima TNI Hadi Tjahjanto
Ancaman tersebut juga tidak hanya berbentuk 'state actor,' akan tetapi juga berbentuk 'non-state actor,' dan tanpa mengenal batas-batas negara.
"Dalam realita ini, kekuatan-kekuatan yang berkonflik tidak akan lagi didominasi oleh entitas negara, tapi juga non negara. Dampak lanjutannya adalah diameter konflik tidak lagi simetris, melainkan lebih bersifat asimetris, proxy dan hibrida," katanya.
Terorisme adalah salah satu hal yang muncul dari kondisi tersebut.
Hadi Tjahjantoo menyebut ancaman kelompok teror jika mengacu dengan apa yang terjadi di Suriah dan Irak, kini juga dijadikan sebagai alat pengkondisian wilayah oleh pihak-pihak tertentu.
"Terorisme juga digunakan sebagai alat pengkondisian wilayah. Beberapa kasus seperti di Suriah dan Irak, terorisme terbukti telah berujung pada proxy war, atau hybrid war dengan melibatkan berbagai aktor baik aktor negara maupun non negara," terangnya.
Perkembangan tekonologi yang membuat arus informasi mengalir begitu deras sehingga nyaris tidak bisa dibendung, juga merupakan suatu hal yang harus diantisipasi.
Tantangan yang dihadirkan menurut Hadi Tjahjanto antara lain berbentuk serangan dari negara lain seperti yang sempat dilakukan Israel terhadap Iran melalui serangan siber.
Kelompok penebar teror dalam sejumlah kasus juga terbukti bahwa mereka juga memanfaatkan perkembangan tersebut.
Mereka memanfaatkan media sosial untuk menebar simpati, merekrut anggota baru hingga mengaktifkan sel tidur.
Selain itu media sosial juga dimanfaatkan oleh kelompok tertentu, untuk mengganggu stabilitas negara melalui propaganda untuk masyarkat.
"Yang tak kalah mengkhawatirkan adalah sebaran media sosial, yang mampu membuat instabilitas keresahan masyarakat dan bahkan mobilisasi massa atau konflik meski mayoritas infonya berasal dari sumber sumber yang kurang jelas atau hoax," ujarnya.