Laporan Wartawan Tribunnews.com, Erik Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Pengujung tahun 2017 menjadi akhir serial drama yang dipertontonkan Setya Novanto, sang terdakwa korupsi pengadaan KTP elektronik tahun anggaran 2011-2013.
Semakin berkibarnya nama Novanto terkait kasus e-KTP secara resmi adalah ketika pembacaan dakwaan bekas Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman bekas Pejabat Pembuat Komitmen Sugiharto.
Dalam surat dakwaan keduanya, perkara dijadikan satu, Jaksa Penuntut Umum pada KPK mendakwa Irman dan Sugiharto bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi bersama Setya Novanto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Isnu Edhi Wijaya, Diah Anggraini, dan Drajat Wisnu Setyawan.
Surat dakwaan yang dibacakan pada 9 Maret 2017 itu membuat publik semakin yakin jika memang Novanto memang terlibat. Penganan kasus yang dilakukan KPK, menaruh harapan Novanto akan berakhir di bui. Asal tahu saja, hampir semua kasus yang ditangani lembaga antirasuah itu membuat si tersangka berakhir di penjara.
Dugaan keterlibatan Novanto semakin menguat berdasarkan fakta-fakta persidangan bahwa benar Novanto turut serta. Irman dalam kesaksiannya bahkan mengakui jika pernah bertemu dengan Novanto dan mengunjungi ruangan kerjanya di DPR RI untuk membahasa anggaran e-KTP.
Novanto kemudian dihadirkan di persidangan. Hasilnya, Novanto sangat mantap dan piawai menjawab pertanyaan dari majelis hakim dan jaksa penuntut umum bahwa dia tidak tahu menahu dan tentu saja tidak terlibat.
Butuh waktu sekitar lima bulan untuk menjerat Novanto. Pada 17 Juli 2017, KPK secara mantap menetapkan Novanto sebagai tersangka pada kasus yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
Baca: Sandiaga Beberkan Alasan Pemprov DKI Ambil Kebijakan Tak Biasa di Tanah Abang
Baca: Sudirman Said: Pemilu Mencari Pemimpin Bukan Penguasa
Penetapan itu sangat menyedot perhatian masyarakat mengingat figur Novanto sebagai ketua umum Partai Golkar dan ketua DPR RI. Dia sering terindikasi kasus namun selalu lolos. Sebut saja kasus piutang Bank Bali, PON XVII, dan kasus Papa Minta Saham PT Freeport.
Namun, bukan Novanto namanya jika tidak bisa lolos dari jerat hukum. Dia tidak pernah bersedia memenuhi diperiksa oleh KPK saat dipanggil sebagai tersangka. Mungkin Novanto tahu, begitu dia datang, dia tidak akan bisa keluar lagi karena besar kemungkinannya dia langsung ditahan.
Ada-ada saja alasan pria yang pernah dinobatkan sebagai pria tertampan Surabaya itu. Mulai dari kerja hingga mengaku sakit sehingga harus dirawat di RS Siloam karena jatuh saat main tenis.
Dua bulan kemudian, Novanto melawan dan mengajukan gugatan praperadilan penetapanya sebagai tersangka di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tepatnya pada 4 September 2017. Seperti biasa, kuasa hukum meminta agar KPK menghormati proses hukum dan tidak memeriksa Novanto sampai ada putusan praperadilan.
Kelicinan Novanto betul-betul terbukti. Hakim tunggal Cepi Iskandar mengabulkan permohonan Setya Novanto. Cepi menilai penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK tidak sah sehingga penetapan Novanto sebagai tersangka harus dibatalkan.
Pascakemenangan itu, Setya Novanto kembali mendapatkan kehormatannya. Dia pun kembali beraktivitas seperti sedia kala. Walau demikian, dia sempat memenuhi panggilan JPU KPK untuk bersaksi di persidangan Andi Agustinus alias Andi Narogong di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 3 Nopember 2017.
Tidak ada yang istimewa dari kehadiran Novanto. Dia hanya menjawab tidak tahu dan tidak ingat sehingga menyebabkan persidangan menjadi datar.
Namun, Novanto tidak sadar bahwa pada 31 Oktober 2017, KPK telah menetapkan kembali dirinaya sebagai tersangka korupsi. Saat itu, publik sudah menerima bocoran adanya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap Novanto.
Akhirnya, KPK melalui Wakil Ketua Thony Saut Situmorang mengumumkan penetapan Novanto sebagai tersangka pada 10 Nopember 2017.
"Setelah proses penyelidikan dan terdapat bukti permulaan yang cukup dan melakukan gelar perkara akhir Oktober 2017, KPK menerbitkan surat perintah penyidikan pada 31 Oktober 2017 atas nama tersangka SN, anggota DPR RI," kata Saut waktu itu.
Apakah Novanto menyerah? tentu saja tidak. Dia kembali melanjutkan serial dramanya agar bisa lepas dari pemeriksaan KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Ketua DPR Setya Novanto, Rabu (15/11/2017) malam. Karena tak kunjung menampakkan diri alias mangkir dari pemeriksaan, KPK akhirnya menerbitkan surat perintah penangkapan untuk Setya Novanto pada Rabu 15 Nopmber 2017.
Novanto ternyata telah mengetahui rencana penangkapan itu. Saat Tim Satgas KPK yang dikawal aparat kepolisian mendatangi rumahnya pada malam itu, Novanto tidak ada. Bahkan lima jam ditunggu suami dari Deisti Atriani Tagor itu tidak datang.
Keberadaan Novanto baru diketahui publik menyusul pemberitaan bahwa mobil yang ditumpangi Novanto, mobil Toyota Fortuner hitam bernomor polisi B 1732 ZLO kecelakaaan yaki menabrak tiang listrik di Jalan Permata Berlian, Permata Hijau Kebayoran Lama, Jakarta Selatan pada Kamis (16/11/2017).
Anehnya, mobil itu dikemudikan oleh Hilman Mattauch yang saat itu masih menjadi kontributor Metro TV. Berdasarkan informasi, Novanto bersembunyi di apartemen Hilman.
Entah apa rencana Novanto sehingga bersedia terlibat pada kecelakaan mobil yang tak seorang pun percaya itu benar-benar adalah kecelakaan. Dia kemudian dirawat di RS Medika Permata Hijau. Kegemparan belum selesai karena kuasa hukumnya Fredrich Yunadi mengungkapkan Novanto sangat menderita dan memiliki benjolan sebesar bakpao di dahinya.
Tidak ada yang benar-benar tahu dan melihat kebenaran informasi tersebut. Bersamaan dengan itu, KPK telah mengirim permintaan kepada polisi agar dimasukkan dalan Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron.
Di sinilah perlawann Novanto semakin melemah. KPK langsung menangkap dan menahan Novanto. Dia kemudian dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo. Novanto tak bisa berkutik lagi. Selang beberapa hari, dia kemudian dijebloskan ke rumah tahanan KPK.
Selang beberapa waktu, dia kemudian mundur dari ketua umum Partai Golkar dan ketua DPR sehingga kekuasannya semakin melemah.
Di lain pihak, KPK kemudian berjuang melawan waktu karena pada 15 Nopember sebelumnya, Novanto melalui kuasa hukumnya kembali mengajukan gugatan praperadilan. Untuk menggugurkan gugatan tersebut, perkara Novanto harus segara dilimpahkan. Sesuai ketentuan Mahkamah Konstitusi, gugatan praperadilan otomatis gugur jika pemeriksaan perkara pokoknya dimulai di persidangan.
Walau dibantah KPK sebagai bentuk strategi, perkara tersebut akhirnya dilimpahkan ke pengadilan pada 6 Desember 2017. Satu hari sebelum sidang praperadilan Novanto. Walau sudah dilimpahkan, kuasa hukum Novanto tetap memaksa agar sidang praperadilan terus digelar karena yakin persidangan bisa digelar sebelum pembacaan surat dakwaan dimulai.
Sekali lagi, Novanto itu punya banyak akal. Pada sidang perdana pada 13 Desember 2017, Novanto berlagak sakit dan menderita. Dia irit bicara dan tidak menatap majelis hakim yang dipimpin Hakim Yanto sekaligus ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Novanto nampaknya ingin menggagalkan agar sidang ditunda sehingga sidang praperadilan tetap berlanjut sampai putusan. Namun, harapan tersebut harus sirna. Drama Novanto kandas karena hakim kemudian memerintahkan agar Novanto segera diperiksa dokter di klinik pengadilan.
Novanto sebenarnya ingin diperiksa tim dokter dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto. Namun pada hari itu, hanya dokter umum RSPAD yang bisa datang. Novanto pun menolak diperiksa.
Dia kemudian diperiksa tim dokter dari Ikatan Dokter Indonesia yang diminta KPK. Hasilnya, Novanto dinyatakan sehat bisa mengikuti persidangan. Yanto kemudian akhirnya mengetuk palu pertanda sidang dimulai pada pukul 17.10 WIB.
Novanto didakwa secara bersama-sama memperkaya diri sendiri dan orang lain dari pengadaan KTP elektonik. Dia disebut menerima uang 7,3 juta Dolar Amerika Serikat dan jam tangan mewah Richard Mille seharga sekitar Rp 1,3 miliar.
Bekas ketua fraksi Partai Golkar itu didkwa bersama-sama dengan, Irman, Sugiharto, Andi Agustinus alias Andi Narogong, Anang Sugiana Sugihardjo, Isnuedhi Wijaya, Irvanto Hendra Pambudi Cahyo, Made Oka Masagung, Diah Anggraeni, Drajat Wisnu Setyawan, didakwa memperkaya diri sendiri atua orang lain atau suat korporasi.
Kuasa hukum Novanto keberatan terhadap surat dakwaan tersebut. Mereka mempersoalkan surat dakwaan yang tidak cermat karena berbeda dengan surat dakwaan sebelumnya yakni milik Irman dan Sugiharto serta Andi Agustinus alias Andi Narogong. (tribun/Erik Sinaga)