TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tahun baru masehi 2018 baru saja menapak di muka bumi. Berbagai resolusi pun mengemuka mengiringi tahun 2018 yang diperkirakan bakal lebih ‘seru’ dibandingkan 2017, salah satunya adalah harapan agar 2018 menjadi tahun damai tanpa radikalisme dan terorisme.
Pakar hukum Dr. Suhardi Somomoeljono menilai harapan itu sangat bagus dan harus bisa diwujudkan di tengah masyarakat.
Namun ia juga menggarisbawahi untuk mewujudkan tahun damai tanpa radikalisme dan terorisme butuh upaya yang sangat berat.
Pasalnya, 2018 adalah tahun politik dimana akan digelar 171 Pilkada yang terdiri dari 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Bukan tidak mungkin, ajang Pilkada ini akan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk melakukan tindakan radikalisme dan terorisme.
Selain itu potensi benturan antar pendukung kandidat juga sangat tinggi, sehingga harus ada strategi dari pemerintah untuk mengantipasi hal-hal negatif yang mungkin bisa terjadi.
“Harapan saya dalam pelaksanaan Pilkada serentak pemerintah harus benar-benar fleksibel dalam menerapkan segala kebijakan. Salah satunya penegakan hukum,” ujar Suhardi, Selasa (2/1/2018).
Menurutnya, penegakan hukum harus senantiasa mengacu pada model hukum yang responsif bukan represif.
Selain itu, ia juga mengimbau agar para politikus tidak saling menyerang dengan memanfaatkan hukum sebagai alat propaganda.
Contohnya, bila ada calon kepala daerah yang berstatus tersangka tidak perlu dilarang dalam kontestasi Pilkada, sampai ada keputusan hukum yang tetap, kecuali seseorang itu ditahan karena pembunuhan, makar, terorisme, pemerkosaan, dan narkotika. Itu penting untuk menghindari terjadinya politisasi antar kontestan yang saling menghancurkan melalui hukum pidana.
“Bila itu terjadi, maka kemungkinan ‘perang’ antar pendukung akan sulit dihindari. Dan otomatis radikalisme pasti akan mengekor kejadian-kejadian tersebut. Makanya, semua harus diantisipasi dengan strategi-strategi yang berpihak pada perdamaian,” jelas pria yang juga pakar deradikalisasi ini.
Suhardi mengungkapkan bahwa Pilkada serentak itu merupakan political will dari suatu negara sebagai perwujudan dari demokrasi.
Masalahnya apakah nilai-nilai demokrasi yang diterapkan oleh suatu negara yang dituangkan dalam hukum positif (baca Undang-Undang) sudah dilakukan kajian secara mendalam dalam kaitannya dengan perilaku pemilih.
Pasalnya, bila kehendak pembentuk UU yang ingin diberlakukannya model demokrasi liberal dalam memilih (hak pilih) dalam proses Pilkada, namun bila perilaku pemilih belum memungkinkan karena disebabkan oleh tingkat intelektual atau kungkungan kultur, maka implimentasinya akan sulit, terutama dari provokasi politik yang dapat menimbulkan konflik sosial (radikalisme, terorisme, intimidasi).
“Pengalaman pada Pilkada DKI Jakarta lalu harus dijadikan pegangan dalam menjaga kedamaian dan keutuhan NKRI. Apalagi Pilkada serentak ini lingkupnya sangat besar, dibandingkan dengan DKI Jakarta,” papar Suhardi Somomoeljono.