TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisioner Komisi Pemilihan Umum RI ( KPU) Pramono Ubaid Tanthowi mengatakan, mahar politik memang lazim terjadi dan menciderai nilai-nilai demokrasi. Namun, sulit dibuktikan.
Demikian ia sampaikan menanggapi kasus mahar politik sebesar Rp 40 miliar yang diminta Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto ke Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur La Nyalla Mattalitti.
"Bagi kita itu kan memang fenomena yang selama ini ditengarai ada. Tapi, proses pembuktiannya sulit," kata Pramono kepada wartawan, Jakarta, Jumat (12/1/2018).
KPU pun menyerahkan kepada pengawas pemilu dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum RI (Bawaslu) untuk mengusut praktik mahar politik.
"Mungkin Bawaslu juga bisa berkoordinasi dengan KPK, PPATK untuk melacak itu kalau memang terjadi," kata Pramono.
Baca: DPD Gerindra Jatim Klaim Tak Terima Uang dari La Nyalla
Dia menegaskan, mahar politik merupakan pelanggaran dalam Undang-undang Pilkada.
"Walaupun tidak ada kerugian negara, tetapi itu menciderai nilai demokrasi," kata Pramono, Jumat (12/1/2018).
Dia mengatakan, seharusnya proses pencalonan itu terjadi melalui kesepakatan antara partai politik dan kandidat yang akan diusung.
Kesepakatan itu bisa berupa kesamaan visi antara pengurus parpol dan kandidat.
"Tetapi kalau dengan mahar, kan itu semua menjadi termanipulasi. Karena mahar, jadi hancur nilai-nilai demokrasinya," tutur Pramono.
Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 yang diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan, setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan kepada Partai Politik atau gabungan Partai Politik dalam bentuk apapun dalam proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Prabowo marah
Sebelumnya dikabarkan La Nyalla memutuskan untuk tidak lagi menjadi kader Partai Gerindra. La Nyalla mencurahkan kekesalannya kepada Ketua Umum Prabowo Subianto yang meminta uang sebesar Rp 40 miliar.