TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengakuan blak-blakan yang disampaikan La Nyalla Mahmud Mattalitti mengenai permintaan uang saksi Rp 40 miliar oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto terkait Pilkada Jatim, mendapat respon dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Lembaga tersebut berencana memanggil Prabowo setelah terlebih dulu meminta keterangan kepada La Nyalla.
Dalam jumpa pers, Kamis (11/1/2018), La Nyalla mengungkapkan pernah dipanggil Prabowo dan diminta menyetor uang saksi Rp 40 miliar. Padahal surat rekomendasi sebagai calon Gubernur Jatim dari Partai Gerindra belum ada.
La Nyalla juga mengatakan dimintai uang Rp 150 miliar hingga Rp 170 miliar oleh oknum Partai Gerindra agar mendapat dukungan sebagai calon Gubernur Jatim.
Meski belum mengeluarkan uang yang diminta, La Nyalla mengaku telah menyerahkan uang sekira Rp 5 miliar kepada oknum pengurus Gerindra.
Baca: La Nyalla Laporkan Oknum Politisi Gerindra ke KPK dan Polri
Bawaslu Jawa Timur telah melayangkan surat pemanggilan klarifikasi terhadap La Nyalla.
"Kita lihat dulu kalau yang bersangkutan tidak ada bukti, bagaimana harus panggil Pak Prabowo. Kan malu juga panggil Pak Prabowo," kata Komisioner Bawaslu, Rahmat Bagja, ketika ditemui di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (13/1/2018).
Perkembangan klarifikasi dari La Nyalla akan menentukan sikap Bawaslu Jawa Timur apakah memanggil Prabowo atau tidak.
Rahmat sendiri menilai ada ketidakkonsistenan dari La Nyalla terkait mahar politik tersebut.
"Makanya kami klarifikasi apakah benar terjadi mahar politik karena berapa kali ada statement (pernyataan) tapi kemudian berubah. Jangan sampai ini main-main lah kalau soal itu. Kalau mau serius ya buktikan kalau ada mahar politik," kata Rahmat.
Rahmat mengingatkan La Nyalla harus memberikan pernyataan konsisten terkait uang Rp 40 miliar tersebut.
Untuk menindaklanjuti, kata Rahmat, La Nyalla harus bisa membuktikannya. Rahmat melihat ada kesulitan dalam kasus itu karena La Nyalla bukan calon kepala daerah.
Baca: Fredrich Yunadi: Anak Buah Saya Cewek Dapat Ancaman dari KPK