Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menanggapi status Bupati Jombang sekaligus kader Partai Golkar, Nyono Suharli Wihandoko yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Golkar pun mengambil sikap tegas.
Politisi Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan partainya telah memberhentikan Nyono dari jabatannya sebagai Ketua DPD Partai Golkar Jawa Timur.
Posisi Nyono tersebut kini telah digantikan oleh kader lainnya sebagai Pelaksana Tugas.
Namun Ace tidak menyebut siapa yang menggantikan Nyono pada jabatan tersebut.
Baca: Dalam 9 Jam ke Depan Air Kiriman dari Katulampa Tiba di Pintu Air Manggarai
"Partai Golkar sudah mengambil sikap yang tegas, dengan memberhentikan Pak Nyono sebagai Ketua DPD PG Jawa Timur, dan menggantikannya dengan Pelaksana Tugas," ujar Ace, dalam pesan singkatnya kepada Tribunnews, Senin (5/2/2018).
Anggota Komisi II DPR RI itu menegaskan bahwa sikap tegas tersebur sengaja diambil untuk membuktikan ketegasan yang dilakukan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Baca: Modus Korupsi Bupati Jombang: Dari Rp 400 Juta Dana BPJS untuk Setiap Puskesmas Dipotong 7 Persen
Golkar saat ini di bawah kepemimpinan Airlangga, kata Ace, ingin menampilkan 'Golkar Bersih' melalui tindak tanduk tiap kadernya.
"Ini sebagai bentuk sikap yang tegas Pak Airlangga sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, dalam upaya menuju Golkar bersih," tegas Ace.
Kasus korupsi terbaru yang melibatkan kader Golkar adalah kasus suap perizinan dan pengurusan penempatan jabatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jombang.
Bupati Jombang sekaligus Ketua DPD I Golkar Jawa Timur Nyono Suharli Wihandoko (NSW), telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Status baru Nyono disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu sore, 4 Februari kemarin.
Beberapa jam kemudian, Nyono langsung dibawa menuju ke Rutan Guntur untuk menjalani 20 hari pertamanya sebagai tahanan, bersama para tahanan KPK lainnya.
Sebelumnya, KPK mengamankan Nyono dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT).
Baca: Katulampa Siaga I, Waspadai Banjir di Sepanjang Bantaran Kali Ciliwung
Selain Nyono, KPK juga telah menetapkan seorang lainnya sebagai tersangka, yakni Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jombang Inna Silestyowati (IS).
Keduanya diamankan bersama 5 orang lainnya yakni Kepala Puskesmas Perak sekaligus Bendahara Paguyuban Puskesmas se-Jombang Oisatin (OST), Kepala Paguyuban Puskesmas se-Jombang Didi Rijadi (DR), Ajudan Bupati Jombang Munir (M), serta S dan A.
Total ke tujuh orang tersebut diamankan dari 3 lokasi berbeda, yakni Jombang, Surabaya dan Solo.
Namun saat ini baru 2 orang yang ditetapkan sebagai tersangka, yakni NSW dan IS.
NSW ditangkap saat tengah berada di sebuah restoran siap saji di Stasiun Solo Balapan, Solo, Sabtu (3/2/2018), sekira pukul 17.00 WIB, saat hendak menunggu kereta yang aakan membawanya ke Jombang.
Ia ditangkap dengan uang sitaan sebesar Rp 25.550.000 dan US$ 9.500.
Sedangkan IS diamankan di sebuah apartemen di Surabaya, bersama S dan A, pada hari yang sama.
Dari IS ditemukan catatan dan buku rekening bank atas nama IS yang diduga menjadi tempat menampung uang kutipan itu.
NSW diduga menerima himpunan dana dari 34 Puskesmas se-Jombang, yang masing-masing dipotong sebanyak 7 persen.
Pembagiannya yakni 5 persen untuk NSW selaku Bupati Jombang, 1 persen untuk Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kesehatan Pemkab Jombang Inna Silestyowati (IS), dan 1 persen lainnya untuk Paguyuban Puskesmas se-Jombang.
Dana yang seharusnya untuk pelayanan kesehatan masyarakat di puskesmas Jombang itu dikumpulkan melalui asosiasi berbentuk Paguyuban.
Kutipan 5 persen tiap Puskesmas itu dihimpun dan diberikan kepada NSW, satu diantaranya untuk membiayai iklan dirinya pada salah satu media di Jombang, terkait pencalonannya sebagai petahana pada Pilkada.
Sedangkan IS sebagai pemberi suap, memotong (mengutip) dana itu untuk diberikan kepada NSW demi mengamankan posisinya sebagai Kepala Dinas Kesehatan.
Untuk NSW yang diduga sebagai pihak yang menerima suap, terancam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sedangkan untuk IS sebagai pihak yang diduga memberikan suap, terancam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001.