Menurut Asih, saat ini DJSN bersama tim, dari Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Bappenas, dan dua perguruan tinggi utama yakni UGM dan UI sedang mengolah data 4 tahun BPJS kesehatan.
“Tujuannya agar bisa betul-betul menghitung kebutuhan iuran dan belanja sehingga bisa menjadi dasar untuk menyusun kebijakan iuran,” ucapnya.
Angger P Yuwono juga menilai defisit keuangan yang terjadi di BPJS Kesehatan terjadi karena biaya lebih besar dari pendapatan atau iuran. Atau dengan kata lain, defisit terjadi saat biaya lebih tinggi dari iuran.
“Padahal, di dalam biaya, masih bayak ruang yang bisa menurunkannya, banyak hal-hal yang bisa kita efisienkan. Sehingga biaya itu tidak muncul. Misalnya, dari obat, pelayanan dan lain-lain,” ucapnya.
Rosa C Ginting menilai sudah selayaknya program JKN dievaluasi dengan pengalaman empat tahun terakhir. Program JKN yang dirancang untuk menjamin kesehatan rakyat dimulai dengan niat yang bagus, namun seiring berjalannya waktu, banyak yang harus diperbaiki. “Timming-nya sekarang kita melakukan reformasi. Yang sudah baik dilanjutkan. Apa yang kurang baik diperbaiki berdasarkan pengalaman kita yang begitu kaya dalam 4 tahun ini. Sudah waktunya melakukan reformasi,” paparnya.
Noor Arida Sofiana menambahkan pihak rumah sakit swasta sangat merasakan permasalahan yang terjadi apalagi terkait tunggakan pembayaran oleh BPJS Kesehatan. Dampaknya, cash flow RS swasta terganggu dan risiko kekosongan stok obat. “Saat ini perbedaan tarif antara RS pemerintah dan RS swasta hanya 3%, padahal RS swasta self funded dan semua biaya operasional RS pemerintah disubsidi oleh negara. Ini yang menyulitkan kami,” katanya.
Sementara itu, Andi Afdal Abdullah dari BPJS menilai program JKN yang telah berjalan memang lebih menekankan pada sisi permintaan (demand side), barulah setelah itu membenahi sisi pasokan (supply side). “Itu merupakan pilihan politik yang terjadi dari hasil kompromi. Di seluruh dunia, permasalahan seperti ini juga mengemuka,” tuturnya.
Menurut Andi, pembenahan supply side juga mesti mencakup deregulasi kebijakan pembangunan rumah sakit di seluruh daerah di Indonesia. Tujuannya agar terjadi pemerataan fasilitas infrastruktur kesehatan di seluruh Indonesia.(*)