News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Soal Pasal Penghinaan Presiden, Pengamat: Kritik dan Penghinaan Itu Saling Bersinggungan

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Imanuel Nicolas Manafe
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Suasana diskusi terkait Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018)

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Glery Lazuardi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasal penghinaan presiden yang dimasukkan di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi polemik.

Pro dan kontra muncul dari berbagai pihak mengenai keberadaan pasal itu.

Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan, aparat penegak hukum dapat secara leluasa menjerat hukum orang yang hanya bermaksud menyampaikan kritik.

Baca: PMKRI Kutuk Penyerangan Gereja St Lidwina Gedog

Meskipun bermotif penyampaian kritik, kata dia, tetap saja orang itu dapat diproses hukum atas dasar telah melakukan penghinaan.

Sehingga, menurut dia, aturan hukum mengenai penghinaan termasuk penghinaan presiden dapat disalahgunakan.

"Memegang banyak sekali kasus yang murni kritik. Tetapi ditarik ke ranah penghinaan. Jadi sudah jangan mendongeng kepada kami soal klien kami yang mendapat kasus penghinaan. Kalau mau kasih unjuk mana penghinaan mana kritik, itu bohong," tutur Erasmus dalam diskusi yang digelar di kawasan CIkini, Jakarta, Minggu (11/2/2018).

Pada 2009, Prita Mulyasari diproses hukum karena menyampaikan kritik.

Kasus pencemaran nama baik itu berawal ketika Prita menuliskan keluhan di email atau surat elektronik tentang pelayanan RS Omni untuk kalangan terbatas.

Baca: RKUHP Versi Pemerintah Dinilai Masih Kental Nuansa Kolonialisme

Namun, isi dari surat elektronik tersebar hingga ke sejumlah milis sehingga membuat RS Omni mengambil langkah hukum.

"Kasus prita itu ada pasal 310 ayat 3. Yang mengatakan tidak di hina untuk membela diri. Prita membela diri. Namun dia di proses hukum, di penjara, kehilangan pekerjaan dan meninggalkan anaknnya yang masih bayi. Itu bisa terjadi kepada anda sekalian," tegasnya.

Mahkamah Konstitusi telah mencabut Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP tentang Penghinaan Presiden pada tahun 2006.

Ketiga pasal itu dinilai MK menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan, pendapat, atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan kepada presiden dan/atau wakil presiden.

Baca: Monumen Sepeda untuk Mengenang Produser RTV di Jalan Gatot Subroto

Dia menilai, melalui putusan itu MK menyatakan tidak mungkin seorang presiden atau kepala pemerintahan lepas dari kritik.

"Makanya banyak berita yang bertebaran, beda kritik sama penghinaan. Sekarang saya tanya, kasus Prita itu kritik apa penghinaan? Prita itu kasusnya kritik. Tapi dia di proses polisi. Sekarang yang tidak bisa bedain kritik sama penghinaan kita atau aparat penegak hukum. Jelas aparat penegak hukum," kata dia.

"Dan nanti kalau sudah kena, kita tidak bisa lagi ngomong itu kritik apa penghinaan. Dan nanti yang menghukum adalah polisi dan jaksa, bukan kita. Sedangkan kritik dan hina adalah dua hal yang bersinggungan. Saya bisa mengkritik dengan cara menghina, atau menghina dengan cara mengkritik," ucap dia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini