TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Klien jasa konsultan politik sebagian besar adalah mereka yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Mekanisme pemilihan umum oleh pemerintah yang membuatnya menjadi serentak beberapa tahun belakangan ini turut membuat bisnis jasa tersebut mengalami perubahan.
Lantas, apakah Pilkada serentak membuat konsultan politik bisa meraup untung besar?
Baca: Tarik Dukungan di Pilkada, Ada Konsekuensi Untuk Parpol
" Pilkada serentak tidak membuat pekerjaan kami lebih mudah, karena resources-nya sama tapi harus melakukan pekerjaan pada waktu yang bersamaan," kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, saat berbincang dengan Kompas.com pada Senin (13/2/2018).
Yunarto menjelaskan, ketika sistem pemilihan umum belum dilaksanakan serentak, lembaganya justru bisa lebih mudah mengatur waktu untuk mendampingi calon-calon yang jadwal pemilihannya berbeda-beda.
Sementara, dengan sistem pemilihan serentak, berakibat pada minimnya klien yang bisa ditangani.
"Buat konsultan, Pilkada serentak tidak menguntungkan," tutur Yunarto.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menyebutkan kerja konsultan politik tidak boleh setengah-setengah.
Bahkan, pihaknya sampai membatasi klien yang meminta untuk didampingi karena kalau memegang banyak, treatment konsultan tidak bisa maksimal.
"Pilkadanya serentak, tapi konsultan punya sumber daya yang terbatas. Itu problemnya," ujar Pangi.
Meski begitu, Pangi memandang bisnis ini bisa makin berkembang ke depan.
Selama penentuan pejabat publik dilakukan berdasarkan pemilihan secara langsung, maka jasa konsultan politik akan terus dibutuhkan.
Ada berbagai macam layanan jasa yang ditawarkan lembaga konsultan politik, tetapi secara garis besar terdapat tiga jenis layanan.