TRIBUNNEWS.COM, MATARAM - Satu per satu tas berisi pakaian dengan warna biru dongker disusun rapi.
Tak ada oleh-oleh atau buah tangan lain yang turut mereka bawa.
Sebagian memilih pojok ruangan untuk sembunyi dan menutup wajah mereka.
“Saya malu, jangan diambil gambar kami. Kami ini malu diketahu orang di kampung,” kata SAK (20), warga Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), yang langsung menutupi sebagian wajahnya dengan sisa jilbab yang mengelantung, Jumat (23/2/2018).
Bukan tanpa alasan SAK menyimpan rasa malu.
Sebulan ini dia dan 5 TKW asal Dompu lainnya harus menjalani pemeriksaan sebagai korban Tindan Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kepolisian Daerah (Polda) NTB.
Mereka berenam adalah TKW yang berani mengambi risiko melarikan diri dari tempat mereka disekap di Turki.
Perjuangan mereka lari dari kejahatan kemanusiaan itu bukanlah hal mudah, apalagi di negara orang. Keterbatasan bahasa menjadi kendala, juga status mereka yang ilegal di negeri orang.
Baca: Adelina, TKI asal NTT Tewas di Malaysia karena Dibiarkan Kelaparan dan Tidur bersama Anjing
Kamis sore (22/2/2018) kemarin, bus menuju Dompu telah membawa mereka pulang ke kampung halaman, setelah sebulan lamanya berada di Mataram menjalani pemeriksaan seusai mereka tiba di tanah air pada Janurai silam.
Jumat ini mereka akan bertemu keluarga dan berusaha melupakan kisah pahit mengadu nasib di Turki demi kehidupan yang lebih baik.
Enam orang TKW ini masing-masing SAK (20), SY, S dan JN (21) serta SK dan LK (19). Mereka susah bersiap naik kendaraan travel untuk kembali ke kampung halaman di Dompu.
Pakaian yang mereka dapatkan dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) dan Dinas Sosial Provinsi NTB terbilang cukup untuk sementara ini, karena saat melarikan diri mereka hanya membawa baju yang melekat di badan.
Kondisi para TKW memang telah berangsur membaik. Perasaan traumanya mulai menghilang.
Kepada Kompas.com, para TKW ini membuka cerita pahit mereka selama berada di tempat penampungan.
Selain merasakan kekerasan fisik, mereka juga mengalami pelecehan seksual, bahkan ada yang diminta untuk kawin kontrak oleh seorang warga Turki yang juga menjadi agen.
Para agen juga kerap bertindak kejam terhadap mereka.
Menurut mereka, puluhan TKW lainnya asal NTB hingga kini masih berada di tempat penampungan dan tak diketahui lagi nasibnya.
Pengakuan para TKW telah membuka tabir bahwa masih banyak warga NTB yang terjebak dalam penampungan dan merupakan TKW ilegal.
SAK yang semula berprofesi sebagai bidan di klinik swasta di Mataram mengaku kecewa atas apa yang dialaminya.
“Saya ingin mendapatkan penghasilan layak. Selama ini honor saya hanya 500.000 per bulan, Saya dijanjikan bekerja di Turki sebagai tenaga kesehatan dengan gaji yang mencapai 4 juta rupiah, tapi semua itu palsu, pengalaman ini pelejaran bagi saya dan saya kapok.” kata SAK sedih.
Tekong atau calo yang membujuknya malah menjanjikan gaji dalam bentuk dolar.
SAK pun tertarik dan nekat berangkat ke Turki tanpa seizin suaminya. Sepekan berada di Jakarta, SAK menanyakan soal kontrak kerja, namun hanya dijanjikan dengan dalih masih menunggu terbitnya visa kerja.
SAK memang berangkat ke Turki dan dibawa ke Istambul. Namun di sana dia malah disekap bukannya ditempatkan di tempat kerja yang dijanjikan.
Ditumpuk seperti kucing
SAK menuturkan bahwa setiba di Turki, SAK dibawa ke Istambul untuk melakukan medical check up. Di Istambul, tas dibongkar dan telepon seluler disita, sehingga ia tak bisa menghubungi keluarga. SAK mulai curiga di hari pertama tiba di Turki.
“Apalagi di hari itu juga usai medical check up, saya melihat TKW asal Bima disiksa hingga wajahnya berdarah dan tulang iganya patah. Saya ingat namanya Nur, dan saat kami kabur Nur masih di tempat penampungan,” kisahnya.
Di tempat penampungan, SAK bertemu dengan 5 TKW lainnya yang sama-sama berasal dari Dompu.
"Kami ditempatkan di satu kamar kecil sekitar 15 orang, dan kami ditumpuk seperti kucing, makan hanya sekali roti kubus mengganjal lapar kami. Kami kelaparan di sana,” kata SAK.
Ketika tiba di Turki, telah banyak TKW yang telah ditampung dari Lombok dan daerah lainnya. Mereka menyayangkan ada lagi TKW yang tiba di Turki dan turut ditampung di tempat yang sama. Padahal di tempat itu telah banyak TKW yang disiksa.
JN, TKW lainnya yang telah bersepakat melarikan diri meminta kawan-kawannya untuk bersiap kabur. Mereka hanya memiliki waktu 5 menit untuk keluar dari tempat mereka disekap.
“Kami harus menuruni tangga besi yang kecil dan licin dari lantai dua apartemen tempat kami disekap. Waktu kami hanya lima menit. Jika lebih dari itu, kami akan ketahuan dan mendapat siksaan dari agensi,” kata JN.
Mereka kabur karena, selain karena tak ada kejelasan akan dipekerjakan di mana, juga khawatir dan takut, mengingat sudah ada TKW yang disiksa dan dianiaya, dilecehkan dan diminta menjadi istri kontrak oknum agensi.
“Jika tahu kejadiannya akan seburuk ini, kami tak akan pernah menginjakkan kaki ke Turki. Apalagi Turki yang disebut sebut sebagai negera tujuan dengan upah yang bisa mencapai 4 juta rupiah per bulannya hanyalah tipuan hingga akhirnya kami merasakan penderitaan yang menyakitkan,” Kata SY, TKW yang pernah mengadu nasib sebelumnya di Timur Tengah, ketika berusia 14 tahun.
“Saya selalu diminta ke kamar berbeda, saya diajak kawin kontrak tapi saya menolak, dan akhirnya saya melarikan diri. Kalau tidak, apa yang akan terjadi saya tidak tahu,” sambung SY yang menutup sebagian wajahnya dengan masker.
SY mengaku pernah bekerja di Yordania ketika masih di bawah umur. Pulang dari Yordania, dia membawa uang kebih dari Rp 100 juta. Selama bekerja, ia mengirim uang untuk membuat rumah dan tanah 1,5 hektar yang ditanaminya padi hingga kini.
“Saya mau mengulangi keberuntungan saya, karena saya mau hidup cukup bersama anak saya. Saya sudah bercerai dengan suami saya, karena itu saya coba bekerja ke luar negeri lagi,” katanya.
Keenam TKW itu menceritakan pengalaman mereka saat melarikan diri. Hampir semuanya tak ada yang mengunakan alas kaki. Barang bawaan pun ditinggalkan. Hanya pakaian melekat di badan, paspor serta sedikit uang yang mereka bawa sebagai bekal.
Melarikan diri tak mudah bagi mereka. Bertanya kepada polisi Turki tak ada yang merspons apalagi membantu, mereka juga terkendala bahasa. Hingga akhirnya mereka bertemu polisi Irak yang membantu mereka ke KBRI.
“Kami ditampung di KBRI. Kami dibantu di sana. Kami kabari mereka bahwa masih banyak TKW NTB yang masih disekap. Ada yang patah tulang iganya karena disiksa, semua kami ceritakan,” kata SY.
Menyaksikan kengerian yang mereka alami di Turki, JN yang juga seorang perawat, meminta Gubernur NTB Zainul Majdi dan Presiden Jokowi untuk benar-benar menutup jalan pengiriman TKW ke Timur Tengah, karena di sana para pahlawan devisa itu hanya disiksa.
“Pada Pak Jokowi, bukalah lapangan kerja untuk kami agar kami tidak mengharapkan bekerja di luar negeri. Kami punya ijazah tapi tak ada lowongan pekerjaan, dan jika ada, gajinya sangat kecil,” kata JN yang diamini SAK.
Apresiasi Polda NTB
Kepala Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) NTB, Ratnaningdiah yang mendampingi mereka selama dalam pemulihan psikis dan trauma, mengatakan apa yang dialami TKW ini sebenarnya bukan hal baru lagi. Sudah banyak kasus serupa dan selalu terulang.
Karena itu, P2TP2A sangat mengapresiasi langkah yang dilakukan Ditreskrimum Polda NTB, terutama langkah AKBP Pujawati, yang sampai melakukan investigasi ke Turki, mengungkap jaringan TPPO ini.
“Kami sebagai penerintah sangat terbantu dengan langkah progresif yang dilakuka tim penyidik Polda NTB ini,” kata Ratna.
Jaringan ini memang kerap melakukan aksinya di kantong-kantong TKI di NTB. Ini yang harus diwaspadai oleh semua pihak, terutama para TKI atau TKW.
“Jangan mudah tergiur iming-iming dan janji palsu, sampai di negeri orang akan mengalami nasib buruk. Ini masih banyak TKW kita yang masih disekap di Turki dari pengakuan mereka yang melarikan diri,” katanya.
Tekong lokal jaringan agen internasional
Kasubdit IV Direskrimum Polda NTB, AKBP I Made Pujawati, menjelaskan, enam TKW, masing-masing SAK (20), SY, S dan JN (21) serta SK dan LK (19), dipulangkan ke kampung halamannya di Dompu setelah sebulan berada di Mataram untuk dimintai keterangan dan menjalani terapi psikis.
Menurut Puja, pengakuan keenam TKW ini sangat mengejutkan. Mereka bukan hanya mengalami penyiksaan fisik dan pelecehan seksual, tetapi juga kekerasan psikis selama berada di penampungan di Turki.
“Kami pulangkan korban karena bagaimanapun korban membutuhkan suasana psikologis yang lebih baik ketika mereka bertemu dengan keluarga mereka masing-masing. Tetapi kami sudah tekankan pada korban untuk tetap kooperatif komunikasi dengan kami dari penyidik, karena masih banyak keterangan yang kami butuhkan untuk klarifikasi dalam rangka mengungkap perkara ini secara terang benderang,” kata Pujawati.
Berdasarkan investigasinya bersama tim di Direskrimum Polda NTB, Puja mengatakan, meskipun telah berhasil menangkap tekong yang merupakan sindikat perdagangan orang berjaringan internasional di Turki, pihaknya kesulitan mengeksekusi mereka yang terlibat jaringan intrnasional ini.
“Kita mendapatkan kendala di sana (Turki) ketika kepolisian Turki belum melangkah untuk melakukan investigasi secara mendalam, dan sementara orang-orang yang disebutkan jaringan internasional ini memiliki perusahaan yang legal di Turki. Ini kendala kita, termasuk pihak KBRI di Turki sulit mengungkap ini,” kata Puja.
Lebih baik hujan batu di negeri sendiri ketimbang hujan emas di negeri orang. Mungkin itu yang kini berada di benak Irawati.(Kompas TV)
Penulis: Kontributor Kompas TV Mataram, Fitri Rachmawati
Berita ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Kisah Pilu TKW di Turki, Ditumpuk Seperti Kucing dan Disiksa hingga Tulang Iganya Patah