TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Audit Watch(IAW) mempertanyakan vonis kepada dua auditor Badan Pemeriksa Keuangan(BPK)terkait kasus dugaan suap di Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal.
KPK dinilai hanya menyeret pelaku kejahatan kelas rendah dan tidak berani menyentuh oknum di BPK yang lebih besar lagi.
Padahal dalam fakta persidangan, KPK sudah menyita banyak data, pengakuan dan lainnya.
"Tapi mengapa KPK tidak mampu menyentuh penyebab suap itu karena hanya menangkap tangan para auditor tersebut?," kata Koordinator Indonesia Audit Watch(IAW)Junisab Akbar di Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Junisab menuturkan, kejahatan dua auditor itu bukan hanya sekedar pemberian WTP, namun masih banyak yang lain.
Seperti diduga metode audit yang digunakan sengaja disimpangkan dari tata audit yang baik dan benar, namun justru hal itu tidak disidik KPK.
Selain itu mengapa KPK tidak memeriksa sampai ke pimpinan seluruh auditor itu yakni Komisioner BPK RI.
"Di fakta persidangan sudah mempertontonkan kepada publik bahwa didalam Tim auditor itu secara berjenjang terlihat 'bekerjasama' memperdagangkan kewenangannya," jelasnya.
Dengan adanya fakta persidangan, sambung Junisab, harusnya KPK mampu membuka 'aib' tim auditor sampai kepada Komisioner BPK RI.
Karena tim itu bisa dengan mudah menggunakan metode yang salah dalam melaksanakan audit, namun justru hal itu dibiarkan.
Sehingga Tim dengan mudah memperdagangkan WTP.
Padahal, diduga kuat ada permasalahan senilai Rp940 miliar dalam proses audit yang dilakukan Tim itu terkait anggaran Pendampingan Dana Desa (PDD).
"KPK harus tahu bahwa Komisioner BPK RI itu memiliki tugas dan wewenang untuk melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Tim itu adalah penerima mandat dari Komisioner," paparnya.
Junisab menilai, teknik dangkal KPK menjerat pelaku kejahatan hanya dengan pendekatan OTT sudah tidak zamannya lagi.
Tidak mungkin ada OTT tanpa ada 'bargain'.
Karena dalam kasus auditor BPK di Kemendes PDTT esensinya diduga kuat ada temuan yang lebih buruk dari sekedar penilaian disclaimer dalam penggunaan anggaran tersebut.
"KPK kami desak untuk melakukan penyidikan berbekal fakta-fakta persidangan untuk menyentuh esensi permasalahan. Itu tidak sulit. Jika KPK enggan melakukannya, tentu akan menjadi pertanyaan besar bagi publik, khususnya di kalangan yang bergelut dalam dunia audit," pungkasnya.
Dua auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli telah divonis majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta masing - masing 7 dan 6 tahun penjara.
Selain kurungan badan, keduanya juga harus membayar uang denda yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Rochmadi harus membayar denda Rp 300 juta subsider 4 bulan. Sementara Ali harus membayar denda Rp 250 juta subsider 4 bulan.
Keduanya terbukti secara sah dan menyakinkan menerima suap masing-masing Rp200 juta dan 240 juta dari mantan Irjen Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) Sugito terkait laporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang akan dikeluarkan BPK. Uang diterima keduanya dari Sugito melalui Kepala Bagian TU dan Keuangan Inspektorat Kemendes Jarot Budi Prabowo.