TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus cenderung sependapat dengan pandangan yang menyebutkan bahwa hoax muncul karena oposisi cenderung tidak memberikan alternative policy.
"Akan tetapi sesungguhnya bukan hanya oposisi saja, semua parpol kita belum terbiasa untuk menjadikan partai politik sebagai tempat untuk secara serius menggodok policy-policy untuk kepentingan publik," kata Lucius ketika dikonfirmasi, Jumat (9/3/2018).
Menurut dia, partai politik selama ini hidup dengan semangat pragmatis dan orientasi satu-satunya hanyalah kekuasaan.
"Partai politik umumnya baru terasa keberadaan dan perannya pada saat momen menjelang Pemilu. Setelah itu mereka hilang berebut kue kekuasaan. Lalu muncul lagi ketika Pemilu mulai mendekat," ujar Lucius.
"Kita jarang mendengar ada usulan kebijakan alternatif yang disampaikan oleh partai politik tertentu," Lucius menambahkan.
Baca: Pengamat: Oposisi Ikut Bertanggungjawab Memberikan Pendidikan Politik Bahaya Hoax
Dalam kondisi partai pragmatis seperti yang umumnya ada di Indonesia, menurut Lucius lalu muncullah hoax karena menjadi mudah untuk dipakai atau digunakan.
"Bagi partai dengan prinsip pragmatis, cara apapun bisa dipakai, yang penting hasilnya bisa membawa kemenangan," ujarnya.
Persoalan hoax kembali diserahkan banyak kalangan akhir-akhir ini. Apalagi menjelang Pemilu, polisi menangkap jaringan yang sengaja menyebar ujaran kebencian dan hoax.
Sebelumnya dalam talk show di ILC TV One kemarin muncul perdebatan Sekjen PSI Raja Juli Antoni dengan Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon soal hoax.
Raja Juli menyebut oposisi tidak kredibel mengakibatkan tidak ada policy alternatif sehingga hoax menjamur.