TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komite Pamantau Legislatif (KOPEL) Indonesia mendesak Presiden Joko Widodo bertanggungjawab atas diundangkannya UU MD3 saat ini. KOPEL meminta Presiden Jokowi tidak terus berakrobat seolah olah tidak tahu pembahasan UU tersebut.
Direktur KOPEL Syamsuddin Alimsyah menilai, secara konstitusi dan prosedural tidak akan bisa diteriima akal sehat yang membenarkan seorang presiden tidak mengetahui hasil pembahasan atas uu tersebut. Apalagi, pasal pasal di UU tersebut sangat krusial.
"Perlu dipahami semua pihak, UU ini adalah produk bersama DPR dan Pemerintah dalam hal ini Presiden. Ini dibahas bersama. Bahkan ada dua tahapan sidang paripurna. Pemerintah berkesempatan langsung untuk menyatakan pendapatnya. Dan sikap pandangan itu sangat kuat bahkan bisa bermakna veto. Bila dalam paripurna keberatan atau tidak setuju, maka tamatlah UU itu," kata Syamsuddin Alimsyah.
Termasuk, di tahap akhir pengambilan keputusan, DPR dan pemerintah memberi pendapat dan tidak keberatan.
Baca: Ada yang Tahu Berapa Usia Sebenarnya Artis Roro Fitria? Ini Jawabannya Berdasar Dokumen Akte Lahir
Baca: Sosok Mr H, Konglomerat Asal Kalimantan yang Disebut-sebut Kekasih Lengket Syahrini
Dia menambahkan, jika selama ini benar bahwa Presiden Jokowi tidak mengetahui perkembangan atas pembahasan UU tersebut, itu berarti selama ini Presiden telah dikadali oleh menterinya sendiri.
"Tapi fakta sampai sekarang menterinya tetap aman saja," kata Syamsuddin Alimsyah
Menurut Syamsuddin, sejati harus ada sikap memberhentikan menterinya atau minimal menegur keras lalu bersikap misal menerbitkan perpu pengganti UU.
"Jokowi seharusnya belajar dalam kasus revisi UU Pilkada di era SBY juga pernah terjadi hal yang hampir sama. Menteri dalam negeri saat itu menyetujui aturan mekanisme pilkada dikembalikan ke DPRD dan ditentang publik," kata Syamsuddin.
Namun oleh Presiden SBY saat itu, setiba di Tanah Air langsung bersikap,meminta maaf dan menerbitkan Perpu.
"Tidak perlu mengundang pakar dan mengkaji lagi. Bukankah setiap UU sudah dikaji sejak dari awal," tegasnya.
Dia menilai, Presiden Jokowi saat ini malah tidak jelas sikapnya seperti apa atas munculnya polemik UU ini. "Atau memang Presiden tidak bisa bersikap? Presiden sejatinya harus cepat merespon. Apalagi sekarang ini petisi yang sudah masuk sudah 201 ribu lebih, mengalahkan saat UU Pilkada yang dipetisi oleh hanya lebih 100 ribu," tambahnya.
Lempar batu sembunyi tangan
Dia menilai, ajakan Jokowi agar para pemerhati UU MD3 ramai ramai mendatangi Mahkamah Agung (MK) adalah sikap tak lebih dari lempar batu sembunyi tangan. "Ada kewenangan, tapi tidak berani menanggung resiko," kata Syamsuddin.
KOPEL juga berharap MK mempercepat proses sidang atas pengujian UU ini. Ini bisa menjadi moment bagi MK mengembalikan wibawanya di mata publik yang selama ini juga tergerus karena ulah ketuanya.
Aturan dalam MD3 bukan hanya soal kritik. Melainkan benar benar sudah sesak pikir memaknai lembaganya selama ini.
"Apa yang disebut hak imunitas? Hak imunitas itu memang harus ada. Tapi itu berkaitan dengan proteksi dirinya dalam menjalankan tugas. Misal seorang anggota DPR tidak boleh diproses hukum karena dalam rangka tugasnya mengkritik pemerintah. Di stulah imunitasnya. Kekebalan hukum diberikan dalam menjalankan tugas. Bukan kekebalan atas proses hukim krn korupsi atau mencuri. Juga bukan kekebalan kritik dari konstituen. Itu bagi saya sesak pikir," jelasnya.
Sama seperti Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD adalah lembaga pengawas internal DPR yang dibentuk dalam rangka memastikan anggota DPR menjaga etik saat bekerja.
MKD mengawasi internal anggota. Tidak ada urusan dengan luar. "Kalau ada masyarakat menghina DPR. Bagaimana standarnya. Memmangnya DPR siapa yang punya? Bukan milik person. Lalu disebut pencemaran nama baik. Nama siapa yang dicemarkan?"
"Bagi saya, hendaknya revisi MD3 justru harus menyeluruh. MD3 harusnya didesain ubtuk mewujudkan parlemen bersih. Parlemen amanah. Bukan sebaliknya menjadi parlemen otoritarian," tandasnya.