TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah mendukung rencana KPK melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri menjadi Calon Legislatif (Caleg) di Pemilu 2019.
"Saya mendukung, orang baik masih banyak, kita butuh pemimpin sebagai contoh yang baik dan tidak cacat," ujar Pujiono kepada Tribunnews.com, Selasa (3/4/2018).
Karena dia melihat proses pemasyarakatan napi masih lemah. Atau belum sepenuhnya menghasilkan mantan napi korupsi yang insyaf dan tobat.
"Jika benar-benar sedang insyaf dan tobat, malu untuk maju berkompetisi berebut kekuasaan kembali, karena sudah gagal," jelasnya.
Jika mantan napi korupsi masih bernafsu untuk kembali berkuasa, justru menurutnya, itu dipertanyakan motivasinya.
"Selain hanya berfikir tentang kekuasaan bukan pada aspek pengabdinnya untuk bangsa dan negara.," ujarnya.
Ia pun berpesan, bangsa ini butuh orang-orang pengabdi, negarawan berpihak berjuang untuk kesejahteraan masyarakat, bukan untuk memupuk kekayaan dan kekuasaan.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendukung sepenuhnya rencana KPU menerbitkan aturan yang melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi Caleg.
Kabiro Humas KPK, Febri Diansyah, menilai norma tersebut penting untuk mencegah seorang terpidana korupsi menduduki jabatan politik.
"Secara substansi, kami memandang norma tersebut penting," ujar Febri saat dikonfirmasi, Senin (2/4/2018).
Menurutnya, tidak pantas bagi seorang yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi langsung mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau calon legislatif.
KPK kerap menuntut seorang terdakwa perkara korupsi yang menduduki jabatan politik untuk dicabut hak politiknya.
"Karena itulah, untuk terdakwa kasus korupsi yang menduduki jabatan politik, KPK juga menuntut pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan," kata Febri.(*)