Menurut Setya Novanto, pertemuan itu merupakan ketidakhati-hatiannya dirinya sehingga menyeretnya lebih jauh ke dalam proyek pengadaan e-KTP.
Setelah pertemuan di Hotel Grand Melia, Setya Novanto mengaku sempat ditemui Irman, Andi Narogong, dan beberapa pengusaha di antaranya dari Biomorf, Johannes Marliem.
Namun, Novanto mengklaim tidak menindaklanjuti hasil pertemuan tersebut.
Terakhir, Setya Novanto juga menyampaikan jika melihat fakta persidangan dari awal, dia merasa telah dijebak oleh Johannes Marliem.
"Johannes Merliem dengan maksud tertentu telah dengan sengaja menjebak saya dengan merekam pembicaraan pada setiap pertemuan dengan saya," singkatnya.
Jam tangan mewah
Selain pertemuan di Grand Melia, Setya Novanto pun menjelaskan soal jam tangan mewah merk Richard Mille seharga 1,3 miliar yang diterimanya dari Direktur Biomorf Lone LCC, almarhum Johanes Marliem yang dititipkan melalui Andi Narogong.
Atas penerimaan itu, dalam surat tuntutan, Jaksa KPK meminta agar uang Rp 1,3 miliar untuk membeli jam tangan dikembalikan ke KPK, karena itu ada kaitan dengan aliran e-KTP.
"Soal pemberian jam tangan Richard Mille, dimana oleh jaksa saya diminta mengembalikan uang pengganti Rp 1,3 miliar. Sebagaimana fakta sidang, saat saya diperiksa sebagai terdakwa. Saya memang tidak membantah menerima jam," tutur Novanto.
Dari persidangan juga terungkap, jam tangan tersebut sudah dikembalikan ke Andi Narogong pada Desember 2016 saat ada acara di rumah Setya Novanto.
Lanjut oleh Andi Narogong, jam tersebut dijual ke sebuah toko jam di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
Uang hasil penjualan, lantas dibagi dua.
"Jaksa harus pertimbangkan keterangan Andi yang telah menjual jam di Blok M. Jam dijual seharga Rp 1 miliar 50 juta. Hasilnya Rp 650 juta untuk Andi dan 350 juta untuk Johanes Marliem melalui Raul. Dengan demikian tidak relevan apabila saya harus menanggung sementara jam sudah saya kembalikan dan dijual oleh Andi," katanya.
Puisi dari sang sahabat