TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Akademisi dari Universitas Mulawarman, Ir Bernaulus Saragih MSc PhD menyatakan ada sesuatu yang salah pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), apakah itu tujuan pembentukannya atau pengawasan terhadap perusahaannya yang lemah.
Hal itu, katanya, telah mendorong BUMN cenderung eksploitatif dan kurang bersahabat dengan pembangunan berkelanjutan.
Pengelolaan BUMN Indonesia terhadap sumber daya alam dinilai sangat eksploitatif dan short term-oriented.
Alhasil, BUMN dinilai menjadi salah satu mesin pemerintah di dalam menciptakan proses pemiskinan bagi masyarakat di daerah penghasil maupun pengolah.
Penegasan itu dia sampaikan saat menjadi saksi ahli dalam sidang uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN, khususnya Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b. Serta Pasal 4 ayat (4), Rabu (19/4/2018).
Gugatan terhadap UU No 19 Tahun 2003 Tentang BUMN diajukan AM Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri dan didukung penuh Persatuan Purnawirawan Angkiatan Darat (PPAD).
Sidang gugatan menghadirkan para saksi ahli dari pihak pemohon dihadiri oleh kedua pemohon, kuasa hukum pemohon Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (TAKEN), kuasa hukum pemerintah dan juga saksi ahli lain Prof DR Koerniatmanto SH, MH dari Universitas Katolik Parahyangan.
TAKEN terdiri dari Dr Iur Liona N Supriatna, MHum, Hermawi Taslim SH, Daniel T Masiku SH, Sandra Nangoy SH MH, Benny Sabdo Nugroho SH MH, Retas Daeng SH, Alvin Widanto Pratomo SH, dan Bonifasius Falakhi SH.
Menurut Bernaulus Saragih, eksploitatif dan short term-oriented berbagai pihak dikategorikan sebagai penghisap kekayaan alam tanpa banyak memberi dampak positif karena peran dan fungsi maupun kontribusi BUMN belum banyak dirasakan rakyat.
Peran BUMN yang tidak maksimal ini, diungkapan para Bupati maupun Ketua DPRD daerah pengolah migas dalam diskusi panel Forum Daerah Pengolah Migas (FDPM) di Balikpapan tanggal 12 April 2018 lalu.
Ketidakpuasan yang sama juga diungkapkan oleh daerah-daerah penghasil migas yang berjumlah 17 provinsi di Indonesia yang menyatakan bahwa kontribusi dunia migas dan BUMN nya terhadap daerah penghasil sangat tidak maksimal.
Dalam rapat kerjanya di Balikpapan tanggal 12 April 2018, Bernaulus menceritakan, dihasilkan beberapa kesepakatan untuk ditindaklanjuti yakni:
1. Daerah Pengolah Migas (DPM) harus mendapatkan Dana Bagi Hasil (DBH) yang lebih besar dari migas mengingat resiko lingkungan yang sangat besar bagi daerah dan masyarakat pengolah.
Hal ini mengingat semakin tingginya frekuensi terjadinya bencana tumpahan minyak maupun kerusakan lingkungan didaerah pengolah akibat pencemaran maupun kebocoran serta limbah migas.
Sebagai tindak lanjut, FDPM menuntut Pemerintah Pusat agar memasukkan nomenklatur “daerah pengolah” dalam formulasi distribusi DBH migas dimana selama ini belum diakomodir atau dimasukkan sebagai fihak yang memperoleh DBH.
2. DPM juga menyepakati bahwa upaya untuk memperoleh DBH adalah sebagai alternatif pilihan yang paling memberikan peluang bagi daerah pengolah/penghasil untuk mempersiapkan daerahnya masing-masing dalam melakukan transformasi ekonomi dari berbasis sumber daya alam ke sumber daya terbaharukan, bahwa diperlukan modal pembangunan yang besar untuk melakukan akselerasi transfomasi ekonomi.
3. Ada tendensi semakin seringnya terjadi bencana akibat industri, termasuk yang dikelola oleh BUMN seperti Pertamina dalam hal kebocoran minyak ataupun tumpahan minyak.
Pencemaran Teluk Balikpapan yang yang terjadi baru-baru ini meliputi 20 ribu hektar, menghilangkan nyawa manusia dan membuat kerusakan parah terhadap ekosistim perairan, belum sepenuhnya ditanggulangi oleh Pertamina.
Dengan semakin sering terjadi tumpahan minyak menunjukkan kinerja Pertamina yang semakin memburuk karena hampir setiap tahun terjadi tumpahan minyak baik dari kapal maupun dari pipa.
4. DPM bersepakat untuk mencegah terjadinya “Dutch Desease” di masing-masing wilayahnya, yaitu kemiskinan ataupun keterpurukan ekonomi yang terjadi akibat dari berakhirnya eksploitasi sumber daya alam.
Sebagaimana diperhitungkan oleh berbagai pihak bahwa produksi migas Indonesia akan habis ditahun 2040 (Mc Kenzie, 2012).
Sedangkan untuk Kaltim sebagai salah satu penghasil migas utama Indonesia menurut Kementerian ESDM akan kehabisan minyak ditahun 2024.
Kesaksian staf pengajar Universitas Mulawarman itu merefleksi dari pengalaman bangsa Indonesia dalam mengeksploitasi sumber daya hutan pada masa 1970-1990an.
Pada kurun waktu itu, Indonesia adalah negara pengekspor terbesar kayu namun setelah tahun 2005 satu persatu perusahaan swasta nasional kehutanan maupun BUMN kehutanan menghilang dan Indonesia kehilangan sumber daya hutan terutama kayu tanpa memberikan banyak perubahan bagi masyarakat kita yang disekitar hutan.
Lebih dari 12 juta hektar hutan Indonesia, diurai lebih lanjut, dikelola oleh BUMN kehutanan. Pertanyaannya adalah, apakah kinerja BUMN lebih baik dari swasta?
Ternyata tidak. BUMN kehutanan menguasai lebih dari 15% hutan produksi alam Indonesia yang tahun-tahun terakhir ini adalah merupakan periode akhir dari produksi.
Masyarakat sekitar hutan yang jumlahnya mencapai lebih kurang 6 juta jiwa, ternyata tidak mengalami perubahan, bahkan dalam berbagai lokasi dan desa justru mengakibatkan rakyat semakin miskin karena kehilangan akses terhadap sumber daya hutan akibat berbagai larangan, ancaman maupun dampak dari over eksploitasi hutan yang menghilangkan sumber daya kehidupan bagi masyarakat.
Menurut analisa Dosen Universtias Mulawarman itu, abainya BUMN untuk menyejahterakan rakyat bermuara pada tujuan BUMN itu sendiri.
Dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN pasal 2 ayat (1) b dikatakan maksud dan tujuan pendirian BUMN adalah mengejar keuntungan.
Frasa mengejar keuntungan itu mendorong BUMN maupun direksinya menjadi mesin pencari untung. Dalam konteks ini, berbagai kondisi yang bersifat cost bagi perusahaan atau berpotensi menggerogoti keuntungan tidak akan menarik bagi BUMN untuk diselesaikan.
Berbagai macam operasi BUMN, diurai Bernaulus Saragih lebih lanjut, karena mengejar keuntungan telah terbukti membuat masyarakat, yang dari dulunya adalah kelompok arif terhadap lingkungan justru terdorong untuk ikut-ikutan kegiatan eksploitatif terhadap SDA.
Alasannya masyarakat khawatir, eksploitasi SDA oleh perusahaan akan menghabiskan sumber daya yang dimiliki daerah tersebut dan tidak secara linier memberikan kesejahteraan, apalagi kemakmuran.
Berbagai kasus penambangan iilegal oleh masyarakat dipicu ketakutan masyarakat tidak mendapatkan apa-apa dari batubara atau emas akibat dari berbagai kinerja pertambangan emas yang tidak memberikan manfaat bagi masyarakat.
Dicontohkan, sekalipun pertambangan emas di Kutai Barat oleh PT. KEM (Kelian Equatorial Mining) berhenti sejak 10 tahun lalu, serta tidak memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, dampak pencemaran lingkungan dan limbah berbahaya maupun landscap yang telah rusak sama sekali belum dapat dipulihkan.
Kasus serupa juga dilakukan perusahaan pertambangan, migas ataupun batubara BUMN atau mitranya.
Oleh karena itu Doktor lulusan Leiden, Belanda ini secara tegas merekomendasikan tujuan pembentukan atau pendirian BUMN bukan untuk mengejar keuntungan tetapi kesejahteraan rakyatsebagaimana yang dimaksud dengan Pasal 33 UUD NRI 1945.
Upaya menyejahterakan rakyat menjadi pertanyaan besar mengingat, jika BUMN sendiri terlilit utang yang sangat besar akibat dari pengelolaannya buruk?
Oleh karena itu, menurut Bernaulus, penguasaan SDA yang bernilai strategis bagi bangsa dan rakyat Indonesia semestinya tidak diserahkan pada suatu badan usaha dimana kontrol atau pengawasan rakyat melalui perwakilan rakyat tidak ada.
Disayangkan, jika pola pengawasan BUMN hanya dilakukan pemerintah melalui kementerian teknis terkait hanya akan menyuburkan budaya entertainmen pejabat pemerintah oleh BUMN.
Meski merugi atau nyaris bangkrut, dalam berbagai kasus BUMN harus tetap dipertahankan pemerintah melalui suntikan modal dan ini mengindikasikan, BUMN sebagai milik pemerintah semata dan bukan milik rakyat yang sebagai pemilik saham melalui setoran pajak.
Imbas dari tidak adanya akses pengawasan terhadap penyertaan modal dan pengawasan oleh rakyat membuat BUMN dalam kenyataannya seperti negara dalam negara.
Para walikota dan bupati maupun ketua DPRD dalam FDPM, demikian lulusan Universitas Gottingen Jerman bersaksi, menyatakan tidak memiliki bargain terhadap BUMN migas di daerahnya karena informasi mengenai Lifting tidak dapat diakses.
Sementara itu, dengan status sebagai objek vital nasional (Obvitnas), industri migas sangat tertutup terhadap publik sehingga keinginan daerah penghasil maupun daerah pengolah migas untuk menghitung DBH sangat sulit dilakukan.
Di sisi lain, dengan kategori sebagai obvitnas, rakyat tidak dapat membuka akses atau menuntut jika terjadi berbagai dampak lingkungan.
Oleh karena itu, Bernaulus Saragih mengingatkan kembali soal tujuan bangsa ini untuk menjaga keutuhan bangsa ini yang salah satunya dirajut melalui perusahaan atau BUMN dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat.
Kontradiktif terjadi, Bernaulus mencontohkan suatu ketimpangan, di saat satu BUMN Kehutanan (HPH) dengan mudah memperoleh jatah tebangan tahunan (RKT) yang mencapai ratusan ribu meter kubik kayu pertahun dengan self assessment, pada saat yang sama ditemukan ratusan fakta bagaimana rakyat selalu diobrak-abrik kepolisian hanya untuk menjual kayu yang ditanamnya karena tidak memiliki surat angkutan atau pass kayu.
Oleh karenanya, pemerintah harus mengevaluasi kembali tujuan pembentukan dan pengelolaan BUMN nya, agar selaras dengan tujuan bernegara.
BUMN tidak boleh menjadi alat bagi masuknya modal asing untuk mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia lalu tanpa memberikan kontribusi yang sepadan bagi rakyat dan negara.
BUMN yang menjadi mitra masuknya modal asing melalui penjualan assetnya adalah indikasi dari kekurangmampuan BUMN itu sendiri untuk mengelola SDA Indonesia.
Kesaksian Bernaulus Saragih ditutup dengan mengutip pendapat dari mantan Duta Besar Singapura untuk Indonesia yaitu Lee Khon Coy yang termuat dalam bukunya “Indonesia a Fragile Nation” terbitan tahun 2000.
Lee Khon Coy mengatakan; untuk tetap mempersatukan Indonesia tidaklah sulit bagi pemimpinnya asal mengerti dan mampu mendistribusikan kekayaan alamnya secara adil terhadap masyarakatnya di 17 ribu pulau itu, dan untuk membawa Indonesia menuju masyarakat yang adil dan makmur tidak perlu pemimpin yang jenius, super pintar dan berkuasa, yang diperlukan hanya pemimpin yang jujur dan bersih”.