TRIBUNNEWS.COM - Sepanjang penjelajahan selama hampir dua dekade, National Geographic Indonesia mengabarkan ragam kisah pelestarian alam dan budaya dari penjuru Nusantara. Kami senantiasa mengajak pembaca untuk lebih peduli pada Bumi, satu-satunya planet yang layak kita huni.
National Geographic Indonesia bersama Jakarta International Literary Festival 2024—atau Festival Sastra Internasional Jakarta—yang didukung oleh Dewan Kesenian Jakarta, menggelar pameran foto dan infografis bertajuk "Sudut Pandang Baru Peluang Bumi".
Tajuk pameran ini sekaligus menjadi pembuka tema perayaan dua dekade bingkai kuning menjelajahi Nusantara.
Publik dapat menyaksikan pameran ini pada 27 November sampai 1 Desember 2024 di Galeri Emiria Soenassa dan Galeri S. Sudjojono, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
Pameran menampilkan karya empat fotografer National Geographic Indonesia, baik staf maupun kontributor.
Donny Fernando, staf fotografer, berkisah tentang dampak perubahan iklim di berbagai kawasan di Indonesia; Aji Styawan menceritakan tenggelamnya pesisir utara Jawa dan warga yang mencoba bertahan dan beradaptasi; Yoppy Pieter menuturkan tentang sekelompok perempuan Aceh yang menjaga kawasan Taman Nasional Gunung Leuser; dan Garry Lotulung mengungkap peran perempuan dalam masyarakat adat untuk konservasi pesisir Misool.
Selain memajang foto-foto yang pernah terbit di berbagai platform bingkai kuning, pameran juga menampilkan poster-poster infografis seri Pusparagam Kehidupan.
Materi poster ini pernah terbit sebagai sisipan dari kisah feature di platform majalah.
Krisis iklim yang menjalar ke berbagai aspek kehidupan telah menjadi bagian narasi kami sepanjang satu dekade belakangan ini.
Perhelatan ini juga mengajak masyarakat untuk menyadari ancaman pupusnya keanekaragaman hayati, perkara yang muncul dari dampak populasi manusia dan krisis iklim.
“Narasi perubahan iklim yang hari ini sering kita gaungkan sepertinya terdengar mulai usang," kata Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia.
Menurutnya, sejauh ini kita kesulitan melihat perubahan signifikan dari apa yang kita perjuangkan selama.
Atas alasan itulah ia menambahkan, "kita mesti lebih keras mengupayakan perubahan yang lebih membawa dampak."
"Kita membutuhkan sebuah sudut pandang baru demi menghadapi bencana lingkungan hidup," ujar Didi. "Kita perlu kembali melihat kepada hal-hal yang selama ini kuat mengakar di masyarakat kita, namun tak pernah bersanding dengan upaya perbaikan lingkungan."