TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hukuman 15 tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, terhadap mantan Ketua DPR RI Setya Novanto, terdakwa korupsi proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), dinilai praktisi hukum Dr Anwar Budiman sudah setimpal.
“Sebagai pejabat negara saat kasus itu terjadi, hukuman 15 tahun penjara itu sudah wajar, sesuai dengan asas keadilan,” ungkapnya di Jakarta, Selasa (24/4/2018).
Selain sebagai detterent effect (afek jera), hukuman yang mendekati maksimal dari tuntutan jaksa 16 tahun penjara terhadap mantan pejabat negara seperti Setya Novanto, kata Anwar Budiman, diperlukan untuk menciptakan shock therapy (terapi kejut) bagi pejabat-pejabat negara lainnya yang sedang coba-coba untuk korupsi.
“Pejabat lain tentu akan berpikir dua kali lipat bila mau korupsi,” tukas pria low profile yang pada Rabu (2/5/2018) depan akan dikukuhkan sebagai doktor hukum ini, dengan pidato pengukuhan berjudul “Penerapan Asas Keseimbangan dalam Perlindungan Hukum Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kerja: Mekanisme Perjanjian Kerja pada Perusahaan Sektor Otomotif di Indonesia” di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, ini.
“Sebagai pejabat yang waktu itu powerfull (sangat berkuasa), bisa jadi kalau tidak ketahuan apa yang dia terima akan lebih besar dari yang selama ini disangkakan,” lanjutnya.
Baca: BREAKING NEWS: Setya Novanto Divonis 15 Tahun Penjara
Anwar kemudian menyarankan Setya Novanto yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar itu tidak mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta dan kemudian kasasi ke Mahkamah Agung (MA). “Takutnya vonisnya akan lebih berat.
Mungkin di PT akan lebih ringan, tapi di MA bisa jadi diperberat. Lihat saja putusan-putusan kasasi sejumlah terdakwa korupsi lainnya,” papar kelahirnan Jakarta 1970 ini.
Selain divonis 15 tahun penjara, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Yanto SH juga mewajibkan Novanto membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Menurut majelis hakim, Novanto terbukti melakukan korupsi proyek e-KTP tahun anggaran 2011-2013.
Putusan itu lebih ringan dari tuntutan jaksa, yakni pidana 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Majelis Hakim juga mewajibkan Novanto membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp 5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jika menggunakan kurs rupiah tahun 2010, totalnya sekitar Rp 66 miliar.
Majelis Hakim juga mencabut hak politik Novanto selama lima tahun setelah selesai menjalani masa pidana. Hal itu sesuai tuntutan jaksa KPK. Majelis hakim sepakat dengan jaksa KPK perihal penolakan permohonan sebagai justice collaborator yang diajukan terdakwa Setya Novanto.
Majelis Hakim mempertimbangkan surat tuntutan jaksa yang menyebut bahwa Novanto tidak memenuhi syarat sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
Menurut jaksa, sesuai ketentuan perundangan, pemohon justice collaborator haruslah seorang pelaku tindak pidana yang mengakui perbuatan dan memberikan keterangan signifikan untuk mengungkap pelaku lain yang lebih besar.
Namun, dalam pemeriksaan terdakwa, Novanto tidak mengakui menerima uang. Meski menyebut sejumlah pihak yang diduga menerima uang e-KTP, Novanto membantah dirinya disebut sebagai pemilik sebenarnya dari uang 7,3 juta dollar AS.
Dalam pertimbangannya, hal yang memberatkan putusan adalah tindakan Novanto bertentangan dengan upaya pemerintah yang gencar memberantas korupsi. Selain itu, korupsi merupakan kejahatan luar biasa.
Adapun hal yang meringankan adalah terdakwa Novanto berlaku sopan selama persidangan dan sebelumnya tidak pernah dihukum. Dalam putusan, Majelis Hakim menganggap perbuatan Novanto memenuhi unsur menguntungkan diri sendiri, merugikan keuangan negara, menyalahgunakan wewenang, dan dilakukan bersama-sama pihak lain dalam proyek e-KTP.
Novanto dianggap memperkaya diri sendiri sebanyak 7,3 juta dollar AS atau sekitar Rp 71 miliar (kurs tahun 2010) dari proyek pengadaan e-KTP. Novanto disebut mengintervensi proyek pengadaan tahun 2011-2013 itu bersama-sama pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Novanto yang pada saat itu masih menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI diduga memengaruhi proses penganggaran, pengadaan barang dan jasa, serta proses lelang.