TRIBUNNEWS.COM - Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko yakin Komando Operasi Khusus Gabungan ( Koopsusgab) akan bekarja efektif saat diturunkan untuk mengatasi situasi yang mengancam negara, misalnya membantu Polri memberantas terorisme.
"Apa pengaruhnya terhadap situasi? Pasti ada pengaruh. Siapa yang enggak takut sama Koopsusgab? Hayo ngomong sama saya," ujarnya saat menutup seminar terkait RUU Antiterorisme, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Ia mengatakan, Koopsusgab merupan gabungan dari tim elite TNI yakni Sat-81 Gultor Komando Pasukan Khusus milik TNI AD, Detasemen Jalamangkara punya TNI AL, dan Satbravo 90 Komando Pasukan Khas dari TNI AU.
Dengan kemampuan yang mempuni dan kapasitas yang handal, Moeldoko yakin kelompok atau pihak-pihak yang mengancam negara akan diselesaikan oleh Koopssusgab.
"Ditabrak Koopssusgab, selesai pasti. Karena kemampuan dan kapasitasnya yang luar biasa," kata mantan Panglima TNI itu.
Pengaktifkan kembali Koopsusgab oleh Presiden Jokowi kata Moeldoko, untuk merespon kondisi dan situasi terkini keamanan negara akibat terjadi banyak teror.
Bila diperlukan, maka Koopsusgab akan turun membantu Densus 88 dalam memberantas terorisme.
"Kapan satuan itu digunakan? Tergantung. Satuan itu dipakai apabila dalam situasi high intensity conflict. Jadi kalau (masalah yang) kecil-kecil belum," kata dia.
Sebagaimana diketahui, Koopsusgab pertama dibentuk saat Moeldoko menjabat sebagai Panglima TNI pada 2015.
Akan tetapi, Koopsusgab dibekukan beberapa waktu kemudian.
Kini, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah meresmikan pembentukan kembali Koopsusgab setelah mendapat restu dari Jokowi.
Kapan Diturunkan?
Lalu, kapan TNI bisa turun membantu polisi dalam memberantas terorisme?
Anggota Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-undang (RUU) No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Arsul Sani, mengungkapkan, ada dua rencana skema pelibatan TNI yang berkembang dalam pembahasan.
Ia mengatakan, pelibatan TNI bisa dilakukan dengan basis peristiwa di mana Polri tak memiliki keahlian untuk menanganinya.
Arsul mencontohkan, TNI bisa dilibatkan dalam pemberantasan terorisme pada peristiwa pembajakan kapal laut dan pesawat.
TNI bisa dilibatkan dalam pemberantasan terorisme berdasarkan skala ancaman yang terjadi.
Hal itu, kata Arsul, bisa dibahas dalam peraturan presiden (Perpres) setelah Undang-undang Antiterorisme yang baru disahkan.
Dalam membuat Perpres pelibatan TNI, nantinya pemerintah akan berkonsultasi dengan DPR.
"Dalam Perpres itu nanti jelas, peristiwa terorisme seperti apa yang diminta TNI (menangani). Atau berbasis skala ancaman," kata Arsul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/5/2018).
Ia mencontohkan, dalam aksi terorisme dengan pembajakan kapal, di mana kapal bergerak ke arah luar wilayah kedaulatan negara, maka di situ jelas menjadi kewenangan TNI untuk menindak.
Arsul menambahkan, dengan kelengkapan Perpres terkait pelibatan TNI, maka jika ada aksi terorisme yang genting dengan skala ancaman yang tinggi, maka TNI bisa langsung diturunkan tanpa Presiden perlu berkonsultasi dengan DPR.
"Kemudian harus datang dulu ke DPR, kalau DPR lagi reses nanti terorismenya harus menghilang kemana? Makanya kemudian di dalam RUU Antiterorisme itu diinisiasi penafsiran sempit atas kebijakan politik negara itu dalam bentuk Perpres," lanjut Arsul. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Moeldoko: Siapa yang Enggak Takut Koopsusgab, Hayo Ngomong..."