TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Selama lima jam pembahasan revisi undang-undang Terorisme, panitia kerja DPR dan pemerintah masih belum mendapatkan hasil mengenai defenisi terorisme dan menyisakan dua pilihan.
Baca: 200 Pasien Penyakit Kronis di RSUD Pekalongan Terlantar karena sang Dokter Ditahan
Baca: Sudah Dapat THR? Ini 5 Pasar untuk Belanja Murah di Jakarta
Definisi pertama, "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional."
Definisi kedua, "Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan."
Ketua rapat tim perumus Panja RUU Terorisme, Supiyadin Aries Saputra menyatakan bahwa kedua pilihan itu akan diputuskan di dalam rapat kerja antara pemerintah dan DPR.
"Kami sepakat agar besok saja diputuskan. Kita juga akan mendengarkan alasan logis dari mereka," katanya usai rapat di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (23/5).
Selama rapat berlangsung, pemerintah berganti sikap setelah skorsing. Mereka yang awalnya mempertahankan argumen terhadap definisi pertama, beralih kepada pilihan definisi kedua.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham, Enny Nurbaningsih menjelaskan, perubahan sikap semata mengakomodir pilihan mayoritas fraksi.
"Kami mengakomodir argumen yang berkembang di fraksi," ucapnya.
Setidaknya terdapat tujuh fraksi yang sepakat dengan opsi kedua. Anggota Pansus dari PPP, Arsul Sani mengatakan perlu adanya pembatasan motif, agar tidak bermasalah di kemudian hari.
"Dari fraksi kami menganggap jangan sampai ada masalah di kemudian hari. Makanya, perlu ada pembatasan motif," katanya.
Sementara PDIP yang diwakili oleh Risa Mariska mengatakan bahwa sedari awal fraksi tetap bertahan pada opsi pertama bersama PKB. Alasannya, aksi terorisme tidak terbatas pada motif-motif tersebut.
"Alasannya kan bisa macam-macam. Bukan hanya politik dan ideologi, bisa juga soal ekonomi, sehingga kami beranggapan bahwa opsi pertama sudah memenuhi unsur kejahatan asalnya (core crime)," tukasnya.
Pelibatan TNI Dengan Perpres
Mengenai pelibatan TNI dalam menanggulangi aksi teror yang sempat menjadi polemik, akhirnya disepakati oleh pemerintah dan DPR.
Kesepakatan yang dimaksud adalah harus adanya peraturan presiden (Perpres) yang dirancang hanya untuk keterlibatan TNI.
"Semuanya nanti ada di Perpres. Itu sudah sepakat. Perpres akan mengatur sejauh apa nantinya TNI terlibat," ucap Asrul Sani.
Kendati demikian, Perpres tidak akan begitu saja diterapkan. Kesepakatan berikutnya, Perpres harus melalui konsultasi dengan DPR sebagai suatu keputusan politik.
"Nanti akan dikonsultasikan dulu di DPR, karena menyangkut dalam putusan politik," jelasnya.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkumham, Enny Nurbaningsih menjelaskan, TNI saat ini sudah dapat berperan untuk menanggulangi terorisme. Undang-undang TNI sudah mengatur hal tersebut, sedangkan pembahasan kali ini untuk merinci secara keseluruhan.
"Tanpa ada undang-undang ini, TNI sudah bisa bergerak karena punya UU sendiri. Dia hanya butuh teknis untuk menindaklanjuti, pendelegasiannya itu," ucapnya.
Masih menurut dia, keterlibatan TNI akan lebih spesifik. Artinya, disaat Polri sudah dianggap tidak mampu lagi menangani aksi teror dan atau polisi meminta bantuan kepada TNI.
"Kalau seperti yang sekarang ini, masih menjadi tupoksinya pihak kepolisian," tegas dia.(ryo)