TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dakwaan Jaksa KPK terhadap mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung harus batal demi hukum, jika dalam pembuktiannya nanti majelis hakim Tipikor menemukan adanya penyimpangan dalam Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017 yang dijadikan alat bukti.
Demikian hal ini ditegaskan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Universitas Padjadjaran, I Gde Pantja Astawa, Minggu (27/5/2018).
Baca: Permohonan Praperadilan BLBI Ditolak, Kabiro KPK Ajak Salaman Kuasa Hukum Syafrudin Temenggung
Menurut Prof. Pantja Astawa, Audit Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 25 Agustus 2017 sendiri bisa batal demi hukum kalau tidak menaati azas asersi, yakni harus ada konfirmasi dari pihak yang diperiksa atau auditee-nya. Proses audit tersebut juga melanggar norma hukum kalau didasarkan pada bukti-bukti sekunder.
"Dari hukum administrasi azas asersi mutlak harus dipenuhi. Kalau tidak ditempuh konfirmasinya kepada auditeenya, maka laporan audit itu batal demi hukum. Apa yang dipublish bisa batal demi hukum karena tidak mengindahkan norma hukum yang ada. Maka kalau Audit BPK 2017 ini terbukti menyimpang dari peraturan yang ada, harus batal demi hukum dan Pak Temenggung harus dibebaskan," tegasnya.
Syafruddin Arsyad Temenggung dalam nota penolakannya terhadap surat dakwaan jaksa penuntut KPK pada persidangan di Pengadilan Tipikor, Senin (21/5) lalu, mempersoalkan adanya Audit Investigatif BPK 25 Agustus 2017 yang menyatakan ada kerugian negara.
Ini bertolak belakang dengan audit BPK sebelumnya, 30 November 2006, yang menyimpulkan tidak ada kerugian negara.
Dia menilai audit BPK 2017 menyalahi standar pemeriksaan yang diatur oleh BPK sendiri, yakni Peraturan BPK No. 1 Tahun 2017. Di situ (butir 14) dinyatakan bahwa suatu laporan audit harus memiliki auditee/pihak yang bertanggung jawab, dan menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari sumber pertama atau hasil keterangan lisan/tertulis dari pihak yang diperiksa (auditee). Laporan Audit BPK 2017 ini tidak ada satu pun auditee-nya.
Selain itu dalam audit BPK 2017 itu sendiri disebutkan tentang batasan pemeriksaan investigatif dalam rangka penghitungan kerugian negara yang hanya sebatas mengungkap dan menghitung kerugian keuangan negara yang timbul akibat adanya penyimpangan oleh pihak terkait dalam proses penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.
Terkait eksepsi Syafruddin yang menyoroti laporan audit BPK 2017 yang mendasarkan pada data data sekunder, yakni sebatas yang disodorkan oleh pihak penyidik KPK, Pantja Astawa pun sependapat.
"Apapun datanya, primer atau sekunder, itu tetap harus dikonfirmasi kepada pihak auditeenya. Pihak yang diperiksa diberikan kesempatan untuk menanggapi. Tidak bisa ujug-ujug. Harus taat pada azas asersi, artinya dikonfirmasi dulu kepada auditee, yakni pihak yang diperiksa. Temuan kerugian itu ada atau tidak ada harus melalui konfirmasi kepada auditee," tegasnya.
Ditanya komentarnya atas Audit BPK 2017 yang banyak terdapat istilah "dugaan", Pantja Astawa mengingatkan bahwa kerugian negara itu harus nyata dan pasti, tidak bisa memakai istilah dugaan.
"Itu rumusannya ada di Undang Undang Perbendaharaan Negara. Bahwa kerugian negara adalah kekurangan uang, barang, dan surat berharga yang nyata dan pasti jumlahnya. Tidak bisa dugaan, tidak bisa kira-kira, bukan pula potensial. Ini telah diperkuat dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi di tahun 2016," tandasnya. (*)