Namun, setelah audit berupa Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & CO (Arthur Andersen), disimpulkan bahwa kredit petambak plasma PT DCD dan PT WM atas piutang Rp 4,8 triliun kepada BDNI digolongkan sebagai kredit macet.
"Tanggal 17 Maret 2004, dilaksanakan rapat bersama antara BPPN dengan KKSK yang membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Namun terdakwa (Syafruddin) tak memberikan laporan rinci ihwal penyelesaian permasalahan PT DCD khususnya terkait misrepresentasi yang dilakukan oleh Sjamsul Nursalim atas nilai utang petambak plasma PT DCD dan PT WM sebesar Rp 4,8 triliun," paparnya.
Syafruddin juga tidak melaporkan ada kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misrepresentasi, serta tidak melaporkan adanya pertemuan dengan pihak Sjamsul yang pada akhirnya merubah misrepresentasi menjadi tidak misrepresentasi.
Akhirnya KKSK mengeluarkan keputusan No.01/K.KKSK/03/2004 yang berisikan antara lain yakni menyetujui pemberian bukti penyelesaian sesuai dengan perjanjian Pemegang Saham dengan BPPN, berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Inpres 8 Tahun 2002 terhadap Sjamsul Nursalim.
Menurut jaksa, pada12 April 2004, terdakwa dan Sjamsul selaku pemegang saham yang diwakili oleh istrinya Itjih S Nursalim, menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir No 16 di hadapan notaris yang menyatakan bahwa pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan seluruh kewajibannya sebagaimana telah diatur dalam MSAA.
Dugaan kerugian negara dalam kasus ini, ungkap jaksa merujuk laporan hasil pemeriksaan investigatif BPK RI tangal 25 Agustus 2017. Atas perbuatannya, Syafruddin diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.