TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dalam rapat Panja (Panitia Kerja) RKUHP DPR RI dengan Pemerintah pada minggu lalu di ruang Komisi III DPR RI, tim ahli Pemerintah menyampaikan reformulasi pasal dalam RKUHP yang selama ini memang belum final pembahasannya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PPP, Arsul Sani, yang juga anggota Panja RKUHP Komisi III DPR RI menjelaskan bahwa reformulasi yang disampaikan tim ahli Pemerintah tersebut menyangkut rumusan pasal-pasal dan juga penjelasan pasal.
Contohnya pasal-pasal mengenai perluasan asas legalitas, penghinaan terhadap presiden, bab yang memuat tindak pidana khusus seperti delik korupsi dan juga perbuatan cabul oleh sesama jenis atau cabul LGBT.
Menyikapi reformulasi ini, Arsul menyatakan ada beberapa pasal yang PPP menyambut baik dan menerima.
"Namun ada pula PPP yang akan menolak dalam rapat berikutnya," ujar Arsul, Minggu (3/6/2018).
Baca: Waspadai RKUHP yang Melemahkan Upaya Pemberantasan Korupsi!
Menurut Arsul, yang bisa diterima PPP bahkan menyambut baik adalah reformulasi pasal penghinaan presiden dimana pasal ini dirubah dari delik biasa menjadi delik aduan.
"Sehingga hanya bisa diproses hukum jika presiden atau kuasanya mengadu kepada polisi," ujarnya.
Menurut Arsul, perubahan pasal penghinaan presiden ini akan mencegah potensi kriminalisasi yang luas akibat penegak hukum menafsirkan penghinaan sesuai pikirannya sendiri.
Terkait dengan pasal perbuatan cabul sesama jenis atau oleh kaum LGBT, Arsul menjelaskan bahwa Pemerintah bukan menghapus pasal tersebut.
"Tetapi mereformulasi rumusan pasalnya dengan menempatkan kata sesama jenis atau berlainan/lawan jenis dalam penjelasan,"ujarnya.
Jadi kata Arsul nantinya perbuatan cabul baik oleh dan terhadap sesama jenis tetap akan dapat dipidana.
Namun, tegas Arsul, PPP tidak akan menerima kalau unsur "sesama jenis" maupun "berlawanan jenis" itu hanya masuk dalam penjelasan.
Posisi PPP adalah bahwa unsur tersebut harus masuk dalam rumusan pasal sehingga memberi pesan tegas kepada publik bahwa hukum pidana Indonesia melarang perbuatan cabul tidak hanya oleh dan terhadap mereka yang berlainan jenis tetapi juga ketika dilakukan oleh dan terhadap sesama jenis jenis atau yang pelakunya LGBT.
Mengakhiri keterangannya, Arsul menambahkan bahwa pasal tersebut bukan kriminalisasi terhadap orang karena status LGBT-nya, tetapi karena perbuatan cabulnya.
"Jadi laki-laki atau perempuan baik yang normal atau yang LGBT hanya dipidana kalau melakukan perbuaan cabul," ujar Arsul.