Menurutnya keputusan Presiden tersebut tidak akan mengubah banyak hal mengingat dalam penutup dokumen yang ia serahkan kepada Jokowi nama Wiranto yang pada saat tragedi Mei 1998 menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Kemanan dan Panglima ABRI (Menhankam Pangab) dan bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut turut dicantumkan.
Bahkan menurutnya sejak pengangkatan Wiranto sebagai Menkopolhukam di dalam kabinet Jokowi pada awal pemerintahnya sudah menunjukan bahwa Jokowi tidak berani untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
"Kalau menurut saya pengangkatan yang tadi saya sebit Menhankam Pangab tahun 1998 sekarang diangkat jadi Menkopolhukam ini jawaban dari program Pak Jokowi yang ditulis dalam visi misi dan program aksi Jokowi-JK yang ditulis dalam Nawacita. Jawabannya adalah Jokowi orang yang tidak berani, walaupin pada hari HAM 15 Desember Presiden mengatakan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu diperlukan keberanian untuk mencari terobosan penyelesaian secara Yudisial, non Yudisial, dan rekonsilisai," ungkap Sumarsih.
Sumarsih pun sadar bahwa langkah untuk untuk akhirnya datang ke Istana setelah sedikitnya mengirimkan tiga buah surat ke Sekretariat Negara sejak awal pemerinrahan Jokowi tahun 2015 bisa dipolitisasi mengingat Indonesia tengah masuk ke tahun politik.
Ia pun mengatakan bahwa kemungkinan itu juga sudah jadi bahan pembicaraan di kalangan aktivis.
Bahkan menurutnya politisasi terhadap tragedi yang menimpa anakanya dan keluarga korban pelanggaran HAM berat lainnya sudah dipolitisasi oleh aparat sejak awal peristiwa itu terjadi.
Meski begitu ia tetap datang karena memang hanya Presiden yang bisa menyelenggarakan Pengadilan HAM Ad Hoc melalui Keputusan Presidennya.
"Itu sejak dari periatiwa terjadi. Apalagi yang langkah-langkah selanjutnya itu untuk dipolitisasi oleh aparat itu sudah iya. Kami sudah sadar sekali. Bagaimana hanya janji-janji saja. Pak Jokowi sebagai Presiden saja waktu kampanye di visi misi dan program aksi Jokowi JK itu kan sudah ada butir F.f-nya bunyinya kami berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi beban politik bangsa bla bla bla. Itu kampanyenya begitu," kata Sumarsih.
Di sela-sela perbincangan suami Sumarsih, Arief Priyadi yang merupakan peneliti yang bekerja di Centre of Startegic and Internasioal Studies (CSIS) itu kemudian berjualan ke ruang lain di belakang ruang tamu.
Tidak lama Arief yang sudah memasuki usia senja itu kemudian membawa sebuah poster usang yang tergulung berwarna dominan merah dan hitam. Pada poster berukuran sekitar 27 x 42 cm itu terpampang tulisan berwarna merah "Mereka Bertanggungjawab".
Di atas tulisan tersebut terlihat delapan foto dan delapan nama di bagian paling atasnya. Nama-nama tersebut antara lain Dibyo Widodo, Wiranto, Djaja Suparman, Roesmanhadi, Hamami Nata, Sjafrie Sjamsoeddin, Nugroho Djajoesman, dan Hendardji.
Arief mengatakan bahwa selama ini pengadilan HAM Ad Hoc untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sulit dibentuk oleh pemerintah karena memungkinkan untuk mengadili tidak hanya pelaku di lapangan melainkan juga komandan yang bertanggung jawab terhadap anak buahnya di lapangan.
"Karena sangat memungkinkan orang-orang yang akan diadili itu pelaku-pelaku di lapangan, tapi harus ada tanggung jawab dari komandan di atasnya," kata Arief.
Sementara di sisi lain menururnya Wiranto sebagai Menhamkam Pangab pada tahun 1998 yang kini menjadi Menkopolhukam selalu menghindar dengan mengatakan bahwa dia tidak punya tanggung jawab pada peristiwa itu.
"Tapi sementara ini seperti Wiranto kan selalu menghindar diri bahwa dia tidak punya tanggung jawab terhadap persitiwa itu. Itu adalah tanggung jawab para komandan yang waktu itu ada di lapangan," ungkap Arief.