Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Bank Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Iwan Ridwan Prawinata dicecar pertanyaan soal alasan pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Selain BDNI, terdapat pula 54 bank lainnya yang mendapat kucuran dana BLBI pada 1997.
Baca: Djanur Sebut PSMS Medan Serius Soal Rencana Merekrut Pemain Naturalisasi
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengonfirmasi keterangan Iwan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Kepada penyidik KPK, Iwan membeberkan alasan utama pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan BLBI.
"Dalam BAP nomor 9, saksi menyatakan, dasar kebijakan pemerintah memberikan BLBI kepada bank saldo debit di antara BDNI yakni, Adanya perintah Presiden Soeharto untuk tidak melikuiditasi bank," cecar JPU di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Kemayoran, Jakarta Pusat, Kamis, (21/6/2018).
"Namun, pemerintah dengan IMF memberikan likuiditas bank yang mengalami kesulitan dan jaminan bank kepada pemilik simpanan akan dipenuhi pemerintah terhadap kewajiban dan krisis ekonomi. Itu alasan diberikan BLBI?" tanya JPU kemudian.
Iwan yang dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung itu tidak membantah keterangan dalam BAP tersebut.
Menurut dia, itu merupakan salah satu alasan mendasar saat itu BLBI dikucurkan ke sejumlah bank.
JPU kemudian mencecar Iwan soal temuan Bank Indonesia terhadap BDNI.
Iwan sebelum menjabat sebagai kepala BPPN diketahui sempat menduduki posisi Direktur Pengawasan Bank di Bank Indonesia (BI).
"Saya baru masuk bulan januari 1998, pada waktu itu temuan BI saya lihat laporan dari pejabat terdahulu memang ada penarikan secara tunai maupun antar bank, baik untuk membayar LC dan lain sebagainya," kata Iwan.
Ia mengaku dalam laporan tersebut ditemukan saldo debit dari BDNI.
Saldo debit, kata dia, fasilitas yang diberikan BI ketika dana yang ditarik nasabah tidak mencukupi.
Iwan menjelaskan, sebelum memberikan fasilitas tersebut, BI akan memeriksa bank itu.
Kemudian, BI akan mengupayakan melakukan perbaikan, menambah modal, dan melakukan action plan.
Namun demikian, Iwan mengaku, tidak ingat persis posisi saldo BDNI pada saat itu.
JPU lantas kembali mengonfirmasi keterangan Iwan dalam BAP.
"Dalam BAP nomor 16, saldo debit pada Desember 1997 berdasarkan laporan accounting, BDNI mulai bersaldo debit sejak Januari 1998 sebesar Rp166,3 miliar sampai bank itu dibekukan pada 1998. Terjadi saldo debit adanya penarikan tunai dan cabang bank BDNI," kata JPU membacakan BAP milik Iwan.
Iwan membenarkan keterangannya dalam BAP tersebut.
Ia juga mengaku sempat bertemu dengan Sjamsul Nursalim selaku pemilik BDNI.
Menurutnya, pertemuan itu terjadi saat ia masih menjabat sebagai Direktur Pengawasan Bank di BI.
Baca: Polres Jaksel Akan Mintai Keterangan Polantas yang Ada di Kejadian Penganiayaan oleh Herman Hery
Pada pertemuan itu, ia meminta agar Sjamsul menyelesaikan persoalan saldo debit.
"Kami meminta penyelesaian saldo debit, mengusahakan mencari cara untuk menutup saldo itu. Yang bersangkutan bilang akan jual perusahaannya di Amerika, kemudian dia akan membuat program pada saat itu," tutur Iwan.