News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hasil Survei, Perokok akan Berhenti Merokok Jika Harganya Dinaikan Jadi Rp 70 Ribu

Editor: Sugiyarto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Harga rokok di Indonesia dinilai lebih mahal dari harga di negara-negara seperti Jepang, Korea, Tiongkok, Hong Kong, Australia, Singapura, Malaysia, Myanmar, dan Vietnam.

TRIBUNNEWS.COM - Survei tentang dukungan publik terhadap kenaikan harga rokok yang dilakukan Komnas Pengendalian Tembakau dan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKIS-UI) menghasilkan temuan menarik. 

Dari survei tersebut, sebagian besar responden mendukung kenaikan harga rokok. 

Lebih menarik lagi, para responden itu bukan hanya mereka yang tidak merokok atau mantan perokok, tetapi juga para perokok aktif. 

"Dukungan harga rokok mahal ternyata tidak hanya muncul dari masyarakat non-perokok, tetapi juga dari para perokok itu sendiri."

"Hal ini dibuktikan dalam hasil survei yang dilakukan PKJS-UI selama Mei 2018 pada 1.000 responden," kata anggota Tim Peneliti PKJS-UI, Renny Nurhasanah, seperti ditulis Kompas.com, Selasa (17/7/2018).

Renny mengatakan, sebesar 88 persen responden mendukung kenaikan harga rokok agar para perokok berhenti mengonsumsi rokok. 

Untuk mendorong agar konsumsi rokok berhenti, harga yang diyakini efektif atalah Rp 60 ribu dan Rp 70 ribu. 

"Sebanyak 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 60.000 per bungkus dan sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok apabila harga rokok naik menjadi Rp 70.000 per bungkus," sambungnya.

Selain mengenai kenaikan harga rokok, survei PKJS-UI juga mengungkap adanya kecenderungan perokok aktif pada responden yang memiliki penghasilan keluarga kurang dari Rp 2,9 juta sebesar 44,61 persen dan Rp 3 juta sampai Rp 6,9 juta sebesar 41,88 persen.

Hal tersebut lebih tinggi dibandingkan responden yang memiliki penghasilan keluarga lebih dari Rp 7 juta dengan presentase hanya sebesar 30,91 persen.

"Hal ini membuktikan bahwa keluarga berpendapatan dan berpendidikan rendah cenderung merokok. Tidak mengherankan jika BPS menyebutkan bahwa rokok menyumbang kemiskinan," pungkas Renny.

Survei mengenai persepsi publik terhadap kenaikan harga rokok bukan dilakukan kali ini saja. 

Pada 2016 silam, Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Manusia, Universitas Indonesia, juga merilis survei yang hasilnya hampir serupa. 

Dalam survei tersebut, para perokok diyakini akan 'insyaf' apabila harga rokok dinaikkan menjadi Rp 50 ribu per bungkus.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini