TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang perdana permohonan Peninjauan Kembali (PK) Jero Wacik digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (23/7/2018).
Permohonan PK ini diajukan terhadap putusan MK RI, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
"PK ini saya ajukan karena adanya kekhilafan hakim dan kekeliruan nyata dalam peradilan baik di pengadilan negeri dan terutama kekhilafan hakim di Mahkamah Agung. Juga adanya 10 novum yang akan kami ajukan," ucap Jero Wacik di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Jero Wacik menjelaskan kekhilafan hakim dan kesalahan proses hukum itu dimulai sejak awal penetapan dirinya sebagai tersangka pada 3 September 2014 dengan tuduhan melanggar pasal 12 huruf e UU Tipikor, yaitu melakukan pemerasan pada bawahan di Kementerian ESDM.
Baca: Jero Wacik Minta Lepas dari Segala Tuntutan Hukum
Penetapan tersangka ini menurutnya tanpa alat bukti yang cukup. Hanya berdasarkan keterangan Sekjen Waryono Karno atas perintah menteri dan sudah dibantah oleh Sekjen Waryono Karno bahwa tidak pernah ada perintah itu dari Menteri ESDM.
"Itu novum pertama, setelah lima bulan disidik tidak ada bukti tambahan maka semestinya disini selesai dan di Pengadilan Negeri, tuduhan pasal 12e tidak terbukti," tegasnya.
Berlanjut pada 6 Februari 2015, Jero Wacik kembali ditetapkan sebagai tersangka di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata melanggar Pasal 2 atau Pasal 3 UU Tipikor yaitu memperkaya diri dan menyalahgunakan Dana Operasional Menteri (DOM).
Penetapan tersangka ini, diungkap Jero Wacik salah secara hukum karena belum ada laporan kerugian negara dari BPK. Dimana laporan kerugian negara dari BPK baru dibuat pada 13 Agustus 2015.
"Penetapan tersangka pada saya dilakukan saat belum ada laporan BPK. Ini jelas salah secara hukum. Laporan BPK juga salah karena mengacu pada permenkue 003/2006 yang sudah dicabut dan tidak berlaku lagi karena sudah diganti Permenkeu 268/2014 tentang DOM. Kalau menggunakan Permenkeu 268/2014 yang sedang berlaku maka penggunaan DOM 80 persen boleh diambil dan dipakai secara Lumpsum," imbuhnya.
Terakhir Jero Wacik juga ditetapkan sebagai terdangka atas tuduhan gratifikasi pasal 11. Oleh jaksa KPK, dia dituduh menggelar acara ulangtahun di Hotel Darmawangsa. Dia menjelaskan itu salah, yang benar adalah peluncuran buku 100 tokoh.
Acara ini turut dihadiri oleh SBY dan Budiono yang saat itu menjadi presiden dan wakil presiden, Jusuf Kalla yang saat ini Wakil Presiden, para menteri, bahkan Presiden saat ini, Joko Widodo yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI juga hadir.
"Pak Jusuf Kalla dalam kesaksiannya di pengadilan juga mengatakan itu bukan acara ulang tahun tapi acara peluncuran buku resmi. Jadi dalam hal ini tidak bisa disebut sebagai gratifikasi, maka tuduhan gratifikasi tidak terbukti," tambahnya.
Diketahui sebelumnya Jero wacik dihukum pidana penjara selama 4 tahun di pengadilan tingkat pertama. Karena hukuman Jero wacik lebih ringan dibanding tuntutan jaksa yakni 9 tahun penjara, jaksa akhirnya mengajukan banding.
Namun permohonan banding jaksa KPK ditolak Pengadilan Tinggi Jakarta. Alhasil Jero Wacik tetap dihukun 4 tahun dan jaksa KPK mengajukan kasasi.
Di Mahkamah Agung (MA), kasasi yang diajukan jaksa penuntu umum dikabulkan akhirnya hukuman Jero Wacik malah diperberat menjadi 8 tahun penjara.
Jero dinilai terbukti menggunakan dana operasional menteri untuk kepentingan pribadi dan keluarga termasuk untuk pencitraan di sebuah surat kabar mencapai Rp 3 miliar.