Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya polemik terkait masa jabatan wakil presiden, menurut Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon, seharusnya tidak perlu terjadi.
Fadli menyebutkan, baik rumusan konstitusi, UU Pemilu, hingga yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi, semuanya telah memberi penegasan yang jelas terkait pengertian masa jabatan dari pejabat negara, mulai dari level kepala daerah hingga presiden.
“Salah satu esensi demokrasi adalah pembatasan dan kontrol terhadap kekuasaan. Salah satunya melalui pembatasan periode jabatan. Sehingga, perdebatan soal apakah jabatan itu dijabat dua kali berturut-turut atau dengan jeda jadi tak lagi relevan, kata dia.
"Hukum tidak memperkenankan pejabat yang sudah dua kali memegang jabatan untuk menjabat kembali yang ketiga kalinya. Itu prinsipnya," lanjut Fadli melalui keterangan tertulisnya, Jumat (27/7/2018).
Secara teoritis, sambung Fadli, cara untuk menafsirkan hukum itu kan ada dua, yaitu tafsir gramatikal dan tafsir historis.
Tafsir gramatikal artinya penafsiran seturut kata dan kalimat. Sementara, tafsir historis dilakukan dengan melihat bagaimana jalannya perdebatan saat lahirnya norma tersebut.
"Secara gramatikal, MK sudah pernah membuat putusan terkait periode jabatan, yang berlaku baik untuk kepala daerah maupun presiden dan wakil presiden. Jadi, sudah ada yurisprudensinya."
“Sedangkan secara historis, dalam perdebatan yang terjadi di MPR selama proses amandemen UUD 1945, sudah ditegaskan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, jika sudah dua kali menjabat maka tidak bisa dipilih kembali untuk jabatan yang sama. Artinya, presiden dan wakil presiden hanya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan, alias maksimal dua periode jabatan. Tidak ada tafsir lain," tambahnya.
Dengan demikian menjadi jelas, baik menurut konstitusi, maupun undang-undang yang berlaku, masa jabatan itu maksimal hanya dua kali.
"Silakan baca kembali Pasal 7 UUD 1945, Pasal 169 huruf (n) dan Pasal 227 huruf (i) UU No. 7/2017. Isinya sudah sangat jelas kok. Normanya koheren dan konsisten, sehingga tidak perlu lagi ada interpretasi. Tidak ada masa jabatan ketiga.”
Bahkan, jika merujuk kepada Putusan MK No. 22/PUU-VII/2009, periode masa jabatan yang tidak dijalani penuh sekalipun tetap dihitung sebagai satu kali masa jabatan.
Artinya, jika seseorang menjabat kepala daerah, presiden, atau wakil presiden tidak penuh selama lima tahun, baik yang bersangkutan naik di tengah jalan maupun berhenti sebelum masa jabatannya habis, periode jabatan yang tak tidak penuh itupun tetap dihitung sebagai satu kali masa jabatan.
"Normanya tegas dan ketat,” kata dia.
Baca: Rupiah Berpeluang Menguat Tapi Terbatas
Baca: SBY, Playmaker Pembentukan Koalisi di Luar Jokowi
“Jadi, menurut saya, perdebatan mengenai periode jabatan Pak Jusuf Kalla itu seharusnya tidak perlu ada. Gugatan uji materi ke MK terkait soal itu sangat tidak elok dilakukan, karena jadi seperti hendak menarik mundur kembali semangat Reformasi,” lanjutnya.
“Apakah kita bisa membatalkan konvensi tentang pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden? Sebenarnya bisa. Bahkan sangat bisa. Tapi itu hanya bisa dilakukan melalui amandemen konstitusi, bukan melalui uji materi," ungkapnya.
"Jangan karena ambisi kekuasaan dan mempertahankan status quo, kita merusak kembali konstitusi dan konvensi ketatanegaraan hasil Reformasi," tandasnya.