TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Partai Perindo mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 169 huruf (n) UU Pemilu terkait syarat pencalonan sebagai cawapres di Pilpres 2019.
Pemohon meminta MK untuk agar bisa menafsirkan frasa 'berturut-turut' untuk syarat cawapres dalam pasal tersebut.
Wakil Jusuf Kalla turut mendaftar sebagai pihak terkait dalam permohonan uji materi ini.
Berbagai kalangan pun ikut berkomentar atas uji materi ini.
Salah satunya adalah anggota fraksi Golkar di DPR, Agun Gunandjar Sudarsa.
Menurut Agun, MK sebagai lembaga penjaga konstitusi tertinggi, perlu melihat dengan benar UUD 1945 sebelum memutus uji materi UU Pemilu ini.
"Lembaga MK dan para hakimnya sepatutnya tetap berpegang pada pasal-pasal dalam UUD 1945, dalam pengujian kali ini berdasar kepada pasal 7 UUD 1945, yang sebelum perubahan rumusannya, Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali," kata Agun kepada wartawan, Sabtu (28/7/2018).
"Lalu diubah menjadi, Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yg sama hanya untuk satu kali masa jabatan," katanya.
Menurut Agun, pasal 7 UUD 1945 dengan gamblang menjelaskan bahwa presiden dan wakil presiden hanya dapat dipilih kembali dua kali, berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
"Didapatkan kejelasan bahwa yang dimaksud oleh rumusan pasal 7 harus dimaknai baik berturut-turut maupun tidak, baik presiden maupun wakil presiden, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk sekali masa jabatan. Artinya hanya 2 kali, berturut turut atau pun tidak berturut turut," kata Agun.
Oleh sebab itu, menurut Agun, judicial review pasal 169 huruf n UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu bertentangan dengan konstitusi dan semangat reformasi.
Menurutnya, MK harus menegakan konstitusi di dasarkan atas prinsip Indonesia yang menganut negara hukum.
“Untuk menjamin tegaknya supremasi hukum (konstitusi) tersebut, UUD 1945 memberi kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana dirumuskan dalam pasal 24C yang berwenang salah satunya menguji UU terhadap UUD 1945, yang putusannya bersifat final dan mengikat,” kata Agun.
Mantan anggota PAH III dan PAH I BP MPR RI tahun 1999-2002 inj menambahkan, namun demikian MK dalam menjalankan kewenangannya juga diwajibkan untuk tunduk, patuh dan mengikatkan diri kepada supremasi hukum (konstitusi).
"Tidak bisa dan tidak dibenarkan para hakim MK membuat penafsiran bebas atas subtansi pasal pasal UUD 1945,” katanya.