TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menelusuri kebenaran pernyataan Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Andi Arief soal adanya dugaan aliran dana Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno kepada parpol peserta pemilu.
Politikus Partai Gerindra, Sandiaga Uno disebut memberikan mahar masing-masing senilai Rp 500 miliar kepada parpol peserta pemilu, PAN dan PKS terkait pemulusan perebutan kursi cawapres pendamping capres Prabowo Subianto.
"Pasti (ditelusuri--red)," kata anggota Bawaslu RI, Fritz Edward, Kamis (9/8/2018).
Friz menegaskan, Pasal 228 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur, parpol dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun terkait pencalonan presiden/wakil presiden.
Jika terbukti di pengadilan, maka parpol pengusung dilarang mengusung capres dan cawapres pada pemilu periode berikutnya.
Pasal tersebut juga mengatur, setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada parpol dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan presiden dan wakil presiden.
"Parpol dilarang menerima imbalan apapun dalam proses pencalonan presiden dan wapres. Kalau terbukti menerima berdasarkan putusan pengadilan, parpol tidak boleh mengajukan calon pada periode berikutnya," tegas Fritz.
Menurutnya, pencalonan capres dan cawapres hasil mahar politik parpol tersebut juga bisa dibatalkan.
Baca: Dukung Jokowi 2 Periode, Maruf Amin Sebut Tiga Tahun Hasilnya Luar Biasa
"Apabila setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terbukti, bahwa seseorang tersebut menyerahkan imbalan kepada partai politik untuk menjadi calon presiden, maka pencalonan tersebut dapat dibatalkan," kata Fritz.
Fritz mengatakan pihak yang dituding memberikan mahar politik harus melalui proses klarifikasi.
Selain itu, diperlukan adanya putusan pengadilan untuk membatalkan pencalonannya.
"Dan sekali lagi kan itu membutuhkan proses klarifikasi dan apabila itu pun terindikasi, maka membutuhkan putusan pengadilan untuk membatalkan pencalonan. Tapi tidak menghilangkan hukuman terhadap pemberian uang tersebut," tuturnya.
Dugaan adanya aliran dana dari Sandiaga Uno kepada PAN dan PKS kali pertama dibeberkan oleh Wasekjen Partai Demokrat Andi Arief.
Andi menuding Sandiaga Uno membayar PKS dan PAN masing-masing sebesar Rp 500 miliar agar bisa diterima sebagai cawapres Prabowo Subianto. Dia memastikan tidak berbohong atas tudingannya tersebut.
"Bener. Saya dengan sadar dan bisa dicek dalam karier politik saya, tidak pernah bohong dan data saya selalu tepat. Tapi, kita nunggu perkembangan besok karena Pak Prabowo akan hadir," ujar Andi.
Andi lalu mengungkit soal perjuangan Demokrat dalam koalisi Prabowo. Dia mengingatkan Demokrat tak pernah berselingkuh dari Gerindra cs.
Hal itu diungkapkan oleh Andi setelah mengetahui adanya perubahan sikap dari Prabowo Subianto terkait koalisi parpol dan pemilihan cawapresnya untuk Pilpres 2019.
Padahal, sebelumnya nama putra SBY sekaligus politikus baru Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sudah masuk dalam bursa cawapres Prabowo.
"Pada hari ini kami mendengar justru sebaliknya. Ada politik transaksional yang berada di dalam ketidaktahuan kami yang sangat mengejutkan. Padahal, untuk menang, bukan berdasarkan politik transaksional. Tapi dilihat siapa calon yang harus menang," kata Andi.
Kekecewaan dan kemarahan Andi Arief atas adanya politik transaksional itu membuatnya menyebut Prabowo Subianto sebagai 'Jenderal Kardus'.
Di sisi lain, pengurus PAN dan PKS membantah adanya aliran dana dari Sandiaga Uno, Wagub DKI Jakarta yang berlatar belakang pengusaha tersebut. (tribun network/gleri lazuardi/coz)