TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Upaya pemerintah untuk meningkatan daya saing global dan kemudahan investasi dengan menerapkan sisitem perizinan terintegrasi atau online single submission (OSS) tidak akan optimal jika semua kabupaten/kota di Indonesia belum memiliki Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).
Saat ini jumlah kabupaten/kota yang ada di Indonesia sekitar 500 an, sedangkan yang sudah memiliki RDTR baru 42 kabupaten/kota.
Kondisi ini akan menghambat rencana investasi prioritas di kota-kota yang belum memiliki RDTR.
Karena itu, Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP) mendesak pemerintah untuk segera menerbitkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala badan Pertanahan Nasional yang mengatur penyusunan RDTR dan aturan zonasi.
Itu dinilai urgen agar percepatan penetapan RDTR kabupaten/kota di Indonesia bisa dilakukan.
"Penetapan RDTR ini berkaitan dengan politik. Rancangannya baru bisa berlaku jika sudah disahkan lewat Peraturan Daerah (Perda) di DPRD. Saat ini Permen ATR yang mengatur pengusunan RDTR dan aturan zonasi itu sangat urgent. Jika tidak sulit bagi pemerintah untuk melakukan percepatan," kata Bernardus Djonosaputro, Ketua Umum IAP di Jakarta, dilansir Kontan.
Bernardus menilai, sekitar 200 kota dan kabupaten ditargetkan bisa memiliki RDTR sampai akhir 2018 ini tidak mungkin bisa tercapai karena memang berkaitan dengan faktor politik tadi.
Menurutnya, penyusunan RDTR di lapangan sudah bisa rampung dalam waktu enam bulan. Namun, proses yang akan memakan waktu lama adalah di DPRD.
IAP memperkirakan, separuh target pemerintah itu bisa tercapai dengan catatan Permen ATR tentang penyusunan RDTR dan aturan zonasi sudah terbit, serta melibatkan ahli perencana dalam proses percepatan penyusunan itu.
Bernardus mengatakan, managemen proses penyusunan RDTR sangat teknis sehingga pemerintah harus bekerjasama dengan aosiasi profesi.
Keterlibatan ahli perencana sangat diperlukan. Pasalnya, berdasarkan UU nomor 20 tahun 2007, RDTR berlaku dalam jangka waktu 20 tahun dan hanya bisa ditinjau kembali setiap lima tahun.
Dengan masa waktunya yang sangat panjang, IAP menekankan RDTR harus dirancang dengan matang agar bisa berlaku dalam lintas rezim.
Dengan begitu, perencanaan kabupaten/kota bisa tetap berjalan dengan baik walupun pemerintahannya silih berganti.
Bernardus menambahkan, hal yang penting diperhatikan percepatan penyelesaian RDTR tersebut harus sinkron dan koheren dengan kebijakan-kebijakan terkait lainnya.
Pertama, harus sinkron dengan kebijakan satu peta (one map policy) yang diatur dalam Perpres No. 9 Tahun 2016 di mana mensyaratkan adanya kesatuan informasi geotematik spasial pada skala 1:50.000 yang dapat mendukung perencanaan ruang.
"Padahal, dalam penyusunan RDTR harus menggunakan skala. 1: 5.000. Ini yang harus disinkronkan," kata Bernardus.
Kedua, pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 dimana penyusunan RDTR dilengkapi dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Sinkronisasi dibutuhkan tidak hanya dalam level kebijakan antar kementerian/lembaga terkait, tapi juga pada level teknis pelaksanaan yang melibatkan tenaga-tenaga ahli bidang penataan ruang.
Ketidaksinkronan kebijakan dan pelaksanaan dapat menghambat dan memperlambat proses penyelesaian percepatan RDTR di Kabupaten/Kota.
Karena itu, Bernardus meminta pemerintah melibatkan IAP dalam merekomendasikan tenaga ahli perencana yang memiliki kompetensi dalam penyusunan RDTR, kebijakan satu peta dan pelaksanaan KLHS.
"Bersama-sama dengan kementerian/lembaga terkait, IAP terlibat dalam proses validasi dan penjaminan mutu hasil pekerjaan penyelesaian percepatan RDTR, kebijakan satu peta dan pelaksanaan KLHS," kata Bernardus. (Kontan/*)