Mengenai keberlakuan UU Perbendaharaan Negara juga dipatahkan. Dalam pledoi disebutkan, aturan pelaksanaaan dari Pasal 37 UU Perbendaharaan Negara belum ada pada saat penerbitan SKL BDNI pada tahun 2004. Padahal Pasal 37 UU Perbendaharaan Negara menyatakan tata cara penyelesaian dan penghapusan piutang negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Nah, PP tersebut barulah terbit pada 2005. Yaitu PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah jo PP Nomor 33 Tahun 2006 jo PP Nomor 35 Tahun 2007.
Oleh sebab itu, menurut pledoi tersebut, sifat kekhususan dari program penyehatan perbankan itu dalam konteks penyelesaian aset dalam restrukturisasi, yang membuat BPPN berhak melakukan penghapusan piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 Ayat (1) huruf h PP 17/1999 tentang BPPN.
Sementara itu, dalam persidangan Kamis, Syafruddin menyatakan selama proses penerbitan SKL tidak ada komunikasi antara dirinya dengan Sjamsul Nursalim sebagai pengendali saham BDNI, baik sebelum atau setelah penerbitan.
Dia juga menyatakan tidak mengenal Sjamsul sehingga, pun fakta-fakta persidangan tidak ada yang menunjukkan bukti adanya imbal-balik penerbitan SKL kepada Syafruddin, dengan demikian unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, tidak terpenuhi.
Syafruddin menegaskan tak ditemukan alat bukti yang bisa membuktikan dirinya korupsi dengan menerbitkan SKL kepada Sjamsul Nursalim. Ia pun berharap majelis hakim mempertimbangkan karirnya sebagai PNS maupun pribadi yang selalu berkomitmen menjadi warga negara yang baik.
Syafruddin memohon majelis hakim membebaskannya dari segala dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum KPK dalam sidang penyampaian putusan atau vonis.
"Kami mohon majelis hakim berkenan menyatakan kami tidak terbukti bersalah, membebaskan dari segara dakwaan, dan merehabilitasi nama baik serta mengembalikan seluruh barang bukti yang disita," ujarnya.(*)