TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin A. Temenggung (SAT) minta penyelesaian kasus yang dihadapinya tidak sampai menganggu prinsip kepastian hukum di Indonesia yang nanti bisa merugikan negara.
SAT menilai, kasus yang didakwakan kepadanya terlalu dipaksakan karena tidak satu pun fakta hukum dan kesaksian yang kuat bahwa dia telah terbukti melawan hukum dalam menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor BLBI SN.
Dalam perkara ini, jaksa penuntut umum (JPU) KPK menuntut Syafruddin 15 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan karena menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham BDNI yang merugikan keuangan negara Rp 4,58 triliun berdasarkan dakwaan pertama dari pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
“Dalam penyelidikan oleh penyidik KPK dan tuntutan oleh JPU, informasi yang disajikan selalu sepotong-sepotong, tidak menggambarkan masalah yang sebenarnya. Dan ini terbukti, JPU tidak mampu membuktikan kapan dan dimana perbuatan melawan hukum yang disangkakan itu dilakukan,” kata SAT, Kamis (13/9/2018) saat membacakan sendiri pledoinya di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dia mengatakan, KPK terhasut kampanye dan siasat obligor BLBI yang tidak mau membayar alias konglomerat hitam yang otomatis mengatakan BDNI belum selesai sehingga konglomerat hitam bebas tapi yang sudah selesai, malah dipidana sedangkan yang ngemplang dibiarkan bebas.
"KPK malah mempermasalahkan BDNI yang sudah dinyatakan selesai bukannya mengejar yang tidak kooperatif, tidak memperhatikan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat," tambah SAT.
Padahal, menurut SAT, penegak hukum dalam bertugas haruslah berasaskan hukum dan tidak boleh memutarbalikkan fakta, bekerja teliti sebagai saksi kebenaran karena bertanggung jawab kepada Sang Pencipta.
"Penegak hukum ada untuk mewujudkan keadilan dan bila gagal serta disalahgunakan maka penegakan hukum itu berubah menjadi bendungan kaku yang merugikan. 'The purpose of the law is justice', dalam penegakan hukum seharusnya ada tiga prinsip yaitu kepastian, keadilan dan kemanfaatan, negara wajib memberi kepastian hukum," ungkap SAT.
SAT dalam pledoinya setebal 110 halaman juga menyatakan, dakwaan yang disampaikan KPK terhadap dirinya mengandung rekayasa, karena disusun tidak berdasarkan fakta persidangan.
Banyak informasi penting, di antaranya terkait dengan keputusan Sidang Kabinet tanggal 7 Maret 2000 dan Rapat KKSK tanggal 18 Maret 2002, tidak dimasukkan dalam pertimbangan dakwaan yang dibuat KPK.
Padahal, kata SAT, keputusan sidang kabinet dan KKSK tersebut merupakan dasar bagi BPPN dalam menyelesaikan tugas-tugasnya untuk menyehatkan perbankan maupun perekonomian nasional.
Di antara keputusan penting yang dikeluarkan sidang kabinet tersebut adalah memberikan jaminan kepastian hukum, khususnya bagi debitur yang sudah memenuhi kewajibannya.
Berdasarkan keputusan tersebut, KKSK dan Menteri BUMN kemudian memberikan persetujuan agar BPPN mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL).
“Jadi, kami bekerja berdasarkan kebijakan yang dibuat KKSK. BPPN hanya pelaksana, bukan pembuat kebijakan,” tambahnya.
Dalam pledoi yang dibacakan sendiri sekitar 3,5 jam itu, SAT menyatakan Jaksa KPK terkesan sangat memaksakan dakwaan dengan memengal-mengal informasi yang terungkap dalam persidangan tersebut sehingga membuat dirinya didakwa dengan hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
Syafruddin menegaskan, kasus yang menimpa dirinya sangat aneh dan anomali. Salah satu alasannya, karena pada laporan BPK 2002 telah menytakan MSAA sudah closing dan seluruh pembayaran telah terlaksana, pada tahun 2004 BPPN diputuskan ditutup.
Dua tahun kemudian, pada tahun 2006, BPK melukankan pemeriksaan atas kinerja BPPN dan bagi semua Bank yang menanda tangani PKPS diperiksa kembali, Khusus untuk BDNI, pada laporannya BPK-RI berpendapat bahwa SKL tersebut layak diberikan kepada PS BDNI karena PS telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakat dalam perjanjian MSAA dan perubahan-perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.
Anehnya setelah saya menjadi tersangka atas permintaan KPK, BPK mengeluarkan laporan investigasi 2017 ada misrep pada MSAA tahun 1999.
“Padahal pemerintah dalam rapat DPR menyatakan pada 12 Februari 2008 melaporan MSAA BDNI telah closing dan lunas. Tapi, Ko setelah 20 tahun MSAA dipermasalahkan lagi. Saya tegaskan, tindakan ini merupakan anomali bagi penegakan hukum di Indonesia. Saya memohon wisdom dari hakim karena semua proses yang saya lakukan jelas dan terang benderang. Sekali lagi, saya bukan pembuat kebijakan tapi hanya sebagai pelaksana kebijakan,”ujar Syafruddin.
Dikatakan, jika kepastian hukum tidak bisa memberikan manfaat dan keadilan, hal tersebut dapat memperburuk situasi ekonomi yang sedang sulit pada saat ini, di mana kurs Rupiah sudah mendekati Rp 15.000 per dolar AS.
Kalau Indonesia tidak bisa menunjukkan adanya kepastian hukum, ini bisa menjadi demotivasi bagi dunia usaha dan investor internasional.
“Untuk itulah, saya mohon wisdom hakim bukan saja untuk membebaskan saya tapi menyelamatkan Indonesia.” kata SAT. (*)