TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Istilah 'emak-emak' atau 'ibu bangsa' menjadi cara Joko Widodo dan Prabowo Subianto memikat pemilih perempuan menjelang pemilihan presiden pada 2019 mendatang. Apakah itu akan efektif?
Pilih 'emak-emak' atau 'ibu bangsa'? Menurut warganet, memilih salah satu istilah itu artinya berkubu pada salah satu calon presiden.
Keriuhan ini dimulai dari munculnya istilah 'emak-emak' yang diidentikkan dengan pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno.
Baca: Tanggapan Mardani Ali Sera dan Hinca Pandjaitan soal Sebutan Emak-Emak Jadi Ibu Bangsa
Menurut situs pencatat data media sosial spredfast, kata 'emak-emak' mulai banyak digunakan di Twitter sejak akhir Agustus. Jumlahnya hingga kini mencapai sekitar 70.000 cuitan.
Adapun tagar yang terkait dengan istilah 'emak-emak' adalah #2019gantipresiden dan #2019prabowosandi.
Sandiaga Uno memang kerap kali menggunakan istilah 'emak-emak' tersebut dalam Twitternya.
Ada pula akun yang mengaku sebagai Partai Emak-emak pendukung Prabowo dan Sandiaga Uno.
Sementara itu, Kongres Wanita Indonesia yang diketuai Giwo Rubianto Wiyogo menolak sebutan emak-emak pada pembukaan Kongres Wanita Indonesia di Yogyakarta, 14 September 2018.
"Kami tidak mau kalau kita perempuan-perempuan Indonesia yang sudah punya konsep ibu bangsa sejak tahun 1935 sebelum kemerdekaan, dibilang emak-emak. Kami tidak setuju. Tidak ada thepower of emak-emak, yang ada, the power of ibu bangsa," kata Giwo Rubianto, dalam video yang dipublikasikan oleh Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden.
Acara tersebut dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Presiden pun kemudian menuliskan di Twitternya. "Jadilah Ibu Bangsa, wahai perempuan Indonesia".
Pernyataan Giwo ini mendapat tanggapan riuh dari media sosial. Kata 'ibu bangsa' kemudian diidentikkan dengan kubu Joko Widodo.
Hurriyah, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia, menilai bahwa polemik soal 'emak-emak' dan 'ibu bangsa' ini adalah upaya kedua calon presiden untuk menarik pemilih perempuan.
Dari 197 juta jumlah pemilih sementara, setengahnya adalah perempuan sehingga pemilih perempuan jadi ceruk yang sangat menarik untuk digarap oleh kedua kandidat.
Menurut Hurriyah, pemilih perempuan menjadi incaran karena beberapa kelebihan dibanding para pemilih laki-laki.
Karakter pemilih perempuan dinilai lebih loyal dan punya peran strategis untuk berkampanye.
"Tanpa disuruh pun mereka kampanye, dengan gaya sederhana, gaya ibu-ibu, sesuai dengan masalah yang dihadapi sehari-hari. Mereka bisa bicara politik dalam arisan, kelompok pengajian dan lain-lain," kata Hurriyah ketika dihubungi oleh BBC News Indonesia melalui telepon.
Baca: Dukung Gerakan Sedekah Putih, Emak-emak Jadi Garda Pencegah Gizi Buruk
Menurutnya, saat Sandiaga Uno pertama mencalonkan diri sebagai cawapres, pria tersebut melihat potensi pemilih perempuan dan berusaha mengambil pilihan kata 'emak-emak' agar lebih dekat ke publik pemilih.
"Istilah ini diambil dari yang sedang trendy di sosial media karena belakangan kita sering mendengar istilah "the power of emak-emak", istilah yang mudah didengar dan dicerna oleh netizen," kata Hurriyah.
Apalagi saat ini ada beberapa isu yang mudah dikaitkan dengan perempuan, seperti misalnya kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.
"Jika Prabowo dan Sandiaga Uno ingin menggaet pemilih perempuan dengan sebutan 'emak-emak', kubu Joko Widodo-Ma'ruf Amin ingin merebut pangsa pasar yang sama, tapi harus menemukan istilah yang berbeda," kata Hurriyah.
"Saya tidak melihat istilah ini sebagai sebutan yang bernada mengecilkan perempuan dan yang satu meninggikan, tidak. Ini memang pemilih perempuan suaranya besar dan masing-masing kubu berlomba-lomba menarik perhatian mereka," kata dia.
Seberapa efektif upaya ini?
Hurriyah menilai bahwa pada 2019 nanti, pertarungan kedua calon akan sangat ketat. Kedua calon akan berusaha dengan serius menarik beberapa kelompok pemilih. Terutama, pemilih perempuan dan pemilih pemula.
Kedua kubu dinilainya akan berusaha membentuk kelompok pemilih yang identik mewakili masing-masing kelompok. Tapi apakah cara ini akan efektif?
"Kalau hanya berhenti sampai soal emak-emak, ini kelompok ibu bangsa, tanpa secara serius merespons isu-isu perempuan atau menjawab aspirasi kelompok perempuan, saya kira tidak akan terlalu efektif," kata dia.
Hingga saat ini, menurutnya kedua kubu belum secara nyata mendengarkan aspirasi para perempuan dan merespons persoalan nyata yang dialami oleh para 'emak-emak' atau 'ibu bangsa'.
Seharusnya, kedua calon sudah harus bicara program nyata. Kubu oposisi bisa memberi kritik pada pada program-program pemerintah yang sudah berjalan dan tawaran solusi.
"Saat ini sudah ada kritik, tapi belum ada alternatif tawaran yang bisa diusung," kata dia.
Sementara itu, petahana pun dinilainya belum punya cara menjawab kelemahan-kelemahan yang disebut dalam kritik.
"Kritik terhadap isu ekonomi dan kesehatan belum direspon secara baik, misalnya dengan tawaran program untuk menangani persoalan riil yang terjadi," kata Hurriyah.
Menurutnya, selama ini pemilih tidak diberi alternatif dan wacana yang lebih mendidik dan bermanfaat.