TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyatakan sangat kecewa dengan putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018.
Akibatnya partai politik dapat kembali mencalonkan mantan terpidana korupsi tersebut.
"Hal ini menunjukkan bahwa korupsi belum dianggap sebagai musuh bersama dan menjadi sinyalemen krisis yang bisa berakibat fatal bagi kehidupan bangsa Indonesia," ujar Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi.
Baca: Koalisi Adil Makmur Disebut Berbau Orde Baru, Sekjen Partai Berkarya Jawab dengan Istilah Unik
Ia menerangkan bahwa upaya memerangi korupsi seharusnya dimulai dengan lahirnya 'rasa krisis' yaitu kesadaran bahwa jika korupsi tidak diberantas maka keberlangsungan negara menjadi ancaman serius.
Zainut berujar, seharusnya Pemerintah dan rakyat Indonesia serius dalam menanggulangi kasus korupsi, tidak boleh setengah-setengah, baik dalam bentuk kebijakan maupun sikap dan tindakan.
"Dalam kebijakan misalnya, seharusnya hukuman untuk para koruptor itu harus dapat menciptakan efek jera, baik dari segi lama hukuman, ganti rugi finansial maupun tambahan hukuman lainnya," lanjutnya.
Anehnya, kenyataan sosial pun menunjukkan "rasa krisis" atas bahaya korupsi belum melekat dalam benak masyarakat.
Baca: Kemenpan RB: Pendaftaran CPNS Dibuka Paling Cepat 26 September 2018
Zainut mencontohkan terbukti dengan masih banyaknya masyarakat yang memberikan apresiasi dan dukungan terhadap tokoh koruptor.
Bahkan ada beberapa politikus yang terbukti melakukan tindakan korupsi masih dicalonkan kembali oleh partai politik menjadi pemimpin daerah dan anggota legislatif.
Hebatnya, mereka diterima dengan tangan terbuka untuk kembali berkiprah di arena politik dan menempati jabatan struktural partai yang cukup strategis.
Untuk hal tersebut MUI mengimbau kepada masyarakat untuk cermat dalam memilih pemimpin, khususnya calon anggota legislatif, agar tidak memilih caleg yang memiliki sejarah kasus korupsi.
Hal ini semata untuk menyelamatkan bangsa dari kehancuran dan bencana.
Dengan dibatalkannya pasal tentang caleg koruptor dalam PKPU, MUI mendesak kepada DPR dan Pemerintah agar segera melakukan perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, agar dalam perubahan tersebut memasukkan pengaturan tentang bakal calon anggota legislatif tidak boleh berasal dari mantan narapidana kasus korupsi.
Diberitakan sebelumnya, MA pernah berujar bahwa landasan hukum yang digunakan MA adalah bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
Peraturan yang dimaksud adalah PKPU No 20/2018 pasal 7 ayat 1 (g) tentang persyaratan menjadi calon anggota legislatif DPR, DPRD, DPRD Provinsi/Kabupaten, yang secara tegas melarang pencalonan mantan terpidana kasus narkoba, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi.
MA menilai, peraturan ini bertentangan dengan UU No 7/2017, khususnya pasal 240 ayat 1 (g), yang memperbolehkan mantan narapidana mencalonkan diri selama yang bersangkutan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa ia adalah mantan narapidana.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah berujar, selama bakal caleg itu mengemukakan secara terbuka kepada publik bahwa ia adalah mantan narapidana, maka ia tidak dilarang untuk dicalonkan.
Ia juga berujar bahwa MA tidak memiliki kepentingan politik apapun terhadap mantan korupsi yang mencalonkan diri sebagai legislatif.
Simak videonya di atas!(Tribun-Video.com/Yulita Futty Hapsari)