TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik, Ray Rangkuti, menilai pembiayaan saksi partai politik di pemilu 2019 yang bersumber dari APBN membebani negara.
Menurut dia, masih banyak keperluan lain yang lebih penting untuk dibiayai negara.
"Ini bukan uang kecil, ini uang besar. Apalagi di tengah bencana melanda NTB dan Sulawesi Tengah. Ribuan korban jiwa dan berapa banyak kerugian korban," ujar Ray, di diskusi 'Tolak Dana Saksi Pemilu Ditanggung APBN' di kantor Formappi, Kamis (18/10/2018).
Dia memperkirakan pembiayaan saksi diperlukan dana Rp 10 Triliun. Usulan mengenai dana saksi disampaikan sejak 2014. Pada saat itu, angka untuk saksi parpol sudah mencapai Rp 700 Miliar.
Baca: Formappi: Komisi II DPR Inkonsisten Minta Dana Saksi Dibiayai Pemerintah
Pada 2017, usulan itu kembali menguat. Rencananya, saksi dari parpol dibiayai dari APBN sebesar Rp 10 Triliun, namun, dia tidak mengetahui darimana anggaran tersebut.
"Mungkin untuk dua kali putaran, karena kalau ada 800 tps dikali 16 parpol dikali Rp 300 ribu, itu total Rp 10 Triliun. Rp 10 Triliun ini bisa digunakan menyelamatkan 80 ribu jiwa yang terdampak bencana. Jadi ada saksi parpol yang harus dibiayai Rp 10 Triliun, tetapi ada 80 ribu orang yang harus dibantu karena tidak memiliki tempat tinggal," kata dia.
Namun, kata dia, pemberian dana saksi dari parpol memunculkan pendanaan ganda. Saksi pertama adalah saksi resmi dari Bawaslu, yang kedua itu dari parpol.
Baca: Iwan Fals Kembali Buat Polling Pilpres 2019, Hasilnya Berbanding Terbalik dengan Bulan Lalu
Nantinya, apabila dana saksi dari parpol disahkan menggunakan APBN, dia menjelaskan, terdapat dua saksi dibiayai negara, aktivitas sama, tetapi laporan berbeda.
"Yang resmi melaporkan ke Bawaslu, yang lain kepada parpol. Ini keliru. Boleh tak negara memberi dana ke elemen yang sama, aktivitas sama di tempat dan waktu sama, tetapi pertanggungjawaban beda-beda," ujarnya.