Dirinya mencontohkan dalam bangunan perkantoran.
"Pada satu sisi, pemilik atau pengelola memperlakukan bangunan kantor sebagai aset yang fisiknya harus selalu mengikuti kebutuhan bisnis . Di sisi lain pemerintah memperlakukan bangunan tersebut sebagai aset budaya yang harus dijaga keotentikannya," kata Wiwin.
Dengan kata lain, Wiwin menambahkan, peninggalan budaya itu harus dijaga nilai-nilai pentingnya seperti tercermin dari fisik atau arsitekturnya.
Perbedaan sudut pandang ini seringkali menimbulkan konflik antara pemilik atau pengguna atau pengelola dengan pemerintah.
"Haruskah kita terus menerus berseberangan tanpa kompromi?" ujar Wiwin.
Wiwin berpendapat Undang Undang No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (UU-CB) seharusnya dapat menjembatani permasalahan tersebut.
Dirinya mencontohkan Pasal 1 menyebutkan bahwa adaptasi adalah upaya pengembangan cagar budaya untuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini.
Caranya, dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.
Dalam kaitan itu, kata Wiwin, dibutuhkan peraturan pemerintah dan peraturan yang sifatnya lebih teknis, berupa peraturan menteri.
"Kami harus sabar menunggu peraturan pemerintah atau peraturan menteri tentang pelestarian cagar budaya agar terjadi harmonisasi," kata Wiwin.