Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menerima Tim Pengacara Muslim Achmad Michdan yang mengadukan sikap kesewenang-wenangan aparat hukum terhadap napi terorisme (napiter). Padahal, menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur prosedur penangkapan hingga penindakan napi terorisme (napiter) yang mengedepankan keadilan dan kemanusiaan.
“Pak Michdan menyampaikan setelah disahkan UU 5 Tahun 2018 terjadi penangkapan dalam jumlah cukup banyak, sekitar 200 lebih penangkapan diduga tidak sesuai prosedur dalam UU. Salah satunya, guru di Ciseeng yang diduga mau membuat bom drone terkait pelaksanaan Asian Games. Tidak pernah ada kejadian tapi ditangkap dengan pola melanggar UU,” jelas Fadli usai pertemuan tertutup di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin ( 22/10/2018).
Dijelaskan legislator Partai Gerindra itu, Tim Pengacara Muslim juga mengadukan sejumlah dugaan berlebihan pihak lapas terhadap napiter. “Para napiter tidak mendapat keadilan dan pelayanan, mau kirim baju, obat dan makanan sulit. Kondisi di rumah tahanan semakin lama semakin buruk, ini harus menjadi perhatian,” tutur Fadli.
Hal senada disampaikan Anggota Komisi III DPR RI, yang juga pernah menjabat Ketua Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Muhammad Syafi’i yang mengatakan disahkan UU Nomor 5 Tahun 2018 ini adalah pemberantasan tindak pidana teroris, bukan upaya mereproduksi teroris. Maka pendekatannya adalah restorasi justice, yaitu bagaimana negara menegakkan keadilan.
“Dalam UU, keadilan yang disepakati itu hukum, maka setiap penanganan kasus pidana harus duo of law. Kalau benar kejadiannya seperti yang dilaporkan Tim Pengacara Muslim, yang tidak mengedepankan keadilan, menurut saya aparat kehilangan logika untuk melakukan pemberantasan. Kita akan investigasi laporan ini," tegas Syafi’i.
Romo, sapaan akrab legislator Partai Gerindra ini menjelaskan prosedur penangkapan teroris dalam UU yaitu selama dua minggu atau 14 hari, kalau mau ditambah harus meminta izin ke pengadilan. Menurutnya, Terduga, tersangka, terdakwa hingga terpidana juga harus diperlakukan secara manusiawi, dan tidak boleh disiksa dan dihina di luar dari batas kemanusiaan. Terhadap aparat yang melakukan hal itu, bisa dihukum 2 tahun penjara.
Sebelumnya. Tim Pengacara Muslim yang diwakili Achmad Michdan, mengadukan perlakukan aparat yang tidak tranparasi dalam penangkapan hingga tidak mengedepankan keadilan dan kemanusaian dalam penindakan napiter.
“10 persen yang ditangkap, istri dan keluarganya menghubungi Tim Pengacara Muslim, dan melaporkan kesulitan untuk mengetahui dimana posisi suaminya yang ditangkap aparat hukum karena diduga teroris. Ini sesuatu yang kami anggap tidak transparan,” jelasnya.
Selain itu, terkait napiter pasca kejian Bom Brimob dan Bom Surabaya yang sebagian dikirim ke Lapas Lusa Kambangan kembali ke Lapas Gunung Sindur banyak yang menderita sakit dengan indikasi serius seperti mengalami kelumpuhan. Karena ada perlakukan yang melanggar hak para napiter. melalui DPR RI, Tim Pengacara Muslim berharap DPR RI memberikan perhatian, atas pengabaian hak napiter.
“Ini ada hak mereka yang harus menadpat pelayanan kesehatan. Tapi pelayanan untuk makan mereka saja cenderung sedikit, bahkan mengeluh makan nasi basi. Kalau keluarga mau mengirim makanan dan lain sebagainya tidak diperbolehkan karena SOP. Namun dari Februari kami mendapat laporan hingga sekarang tidak ada realisasi. Bahkan keluhan penyakit diduga kaena asupan gizi,” jelasnya. (*)