Pada akhir 2016, Kementerian Agama mencanangkan “Sembilan Program Aksi” yang salah satunya tentang pembinaan masjid dan majelis taklim. Pembinaan ini dilakukan melalui pemetaan, pelatihan, dan sertifikasi da’i/khatib/mubaligh.
Terkait program ini, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan melakukan penelitian tentang Peta Penyiaran Keagamaan Islam Berbasis Masjid di Indonesia pada 2017 lalu.
Penelitian tersebut memiliki beberapa tujuan, pertama untuk mengetahui bagaimana profil takmir masjid (DKM), imam masjid, dan penceramah atau khatib Jumat yang mengisi kegiatan penyiaran keagamaan di masjid.
Tujuan kedua adalah untuk mengetahui bagaimana aktivitas penyiaran keagamaan di Masjid, dan ketiga untuk mengetahui bagaimana respon jamaah terhadap materi siaran keagamaan mereka di masjid.
Penelitian ini dilakukan di delapan provinsi di Indonesia, diantaranya Provinsi Aceh di kota Banda Aceh, DKI Jakarta, Jawa Barat di kota Bandung, DI Yogyakarta di kota Yogyakarta, Bali di Denpasar, NTB di Kota Lombok, NTT di kota Kupang, dan Maluku di kota Ambon.
Setelah dilakukan wawancara mendalam terhadap orang-orang yang kompeten terkait isu siaran keagamaan, pengamatan langsung, serta melalui studi dokumentasi, literature ilmiah, dan hasil riset, didapatlah beberapa temuan.
Pertama, takmir masjid (DKM), imam masjid, dan penceramah atau khatib Jum’at yang mengisi kegiatan penyiaran keagamaan di masjid-masjid yang diteliti dominan berhaluan “moderat”. Hanya sebagian kecil saja di antaranya yang berhaluan “puritan” – meminjam istilah Khaled M. Abou el-Fadhl untuk mengategorikan kalangan yang tekstualis, intoleran dan tidak siap dengan perbedaan, lawan dari “moderat” -- seperti di Masjid Kampus Unsyiyah Banda Aceh, Masjid Nurullah Jakarta, Masjid Al-Fajr Bandung, Masjid Ukhuwwah Denpasar, dan Mas-jid Laskar Ambon.
Kedua, penyiaran keagamaan secara umum tergantung pada takmir masjidnya, terutama Khutbah Jum’at yang bersifat wajib dan mingguan. Tema ditentukan oleh takmir masjid, begitu juga penentuan penceramah atau khatib Jum’at.
Para penceramah atau khatib biasanya direkrut dari orang-orang yang kompeten di sekitar masjid itu berada, yang secara keilmuan diakui dan dianggap memiliki cukup pengalaman dalam ber-dakwah, pengetahuan agamanya luas dan berlatarbelakang pendi-dikan agama.
Ketiga, sebagian aktivitas penyiaran keagamaan di beberapa masjid diinisiasi oleh jamaah dan disetujui takmir masjid. Beberapa pengajian berasal dari luar dengan menggunakan masjid sebagai pusat aktifitas, misal-nya Masjid Raya Baiturahman di Aceh dengan Majelir Zikir Bulanan, Masjid Raya Al Fattah di Ambon, begitu juga Masjid Raya Bandung dengan Majelis Zikir Al-Farros Mingguan dan Masjid Raya Nurus Sa’adah Kota Kupang.
Keempat, materi penyiaran keagamaan di beberapa masjid secara umum menekankan amar ma’ruf nahi munkar, mementingkan kemaslahatan, menghin-dari ketegangan/konflik, baik karena perbedaan mazhab maupun berkaitan hubungan dengan pemerintah atau masyarakat secara umum.
Hanya saja, sebagian kecil di antaranya masih ada yang menawarkan materi penyiaran keagamaan yang cenderung puritan. Masjid Nurullah Jakarta, Masjid Laskar Ambon dan Masjid Ukhuwwah Denpasar yang bermanhaj Salafi seringkali menyinggung masalah bid’ah di masyarakat.
Beberapa masjid tersebut tidak menerima penceramah dari luar yang berbeda pemahaman dengan kelompoknya, sangat menentang mazhab Syiah dan aliran lain yang dianggap sesat masuk dalam materi khutbah Jum’at juga penyiaran keagamaan lainnya
Kelima, sebagian masjid memiliki sistem seleksi dan pengawasan terhadap khatib atau penceramah yang mengisi kegiatan penyiaran keagamaannya.
Di Masjid Al-Fajr Bandung, Masjid Jogokaryan Yogyakarta dan Masjid Baitul Makmur, kalau ada penceramah yang menyampaikan isi ceramahnya menyimpang dari peraturan yang sudah ditentukan, maka penceramah tersebut tidak akan diundang lagi.
Keenam, respon jamaah terhadap materi penyiaran keagamaan di beberapa masjid secara umum positif. Penilaian positif jamaah tersebut didasarkan pada pertimbangan selama materi penyiaran keagamaan masih relevan dengan Alqur’an dan Hadis.
Selain itu, respon positif juga muncul karena format penyiaran keagamaan yang dibuat menarik dialogis dalam bentuk tanya-jawab, seperti di Masjid Nurullah Jakarta dan Masjid Baitul Makmur Denpasar.
Sikap kritis jamaah belum cukup kuat di sebagian besar masjid yang diteliti. Ini setidaknya disebabkan faktor keterbatasan pengetahuan jamaah tentang regulasi penyiaran keagamaan.
Seperti Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 serta Surat Edaran Kapolri No. 6/X/2015 tentang Ujaran Kebencian, sehingga jamaah masih banyak yang menerima saja apa yang disampaikan oleh para penceramah.
Namun demikian, pada beberapa masjid sikap kritis muncul dari jamaah dalam merespon penyiaran keagamaan yang disampaikan oleh para penceramah, seperti di Masjid Jogokaryan Yogyakarta dan Masjid Salahuddin UGM Yogyakarta.
Berdasarkan temuan-temuan ini, Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan memberikan beberapa rekomendasi pada pemerintah, diantaranya perlu adanya peningkatan kompetensi khatib dan penceramah yang terukur dan berjenjang, mulai dari tingkat dasar, menengah dan ahli. Terutama di masjid-masjid pemerintah, BUMN, dan masjid yang terletak di kota besar.
Perlu menghadirkan role model khutbah melalui pemberian reward yang menginspirasi dakwah Islam washatiyah.
Selain itu, pemerintah diharapkan bisa memaksimalkan sosialisasi yang lebih efektif terkait regulasi tentang penyiaran keagamaan dan ujaran kebencian pada masyarakat. Hal ini agar mereka lebih cerdas dalam merespon materi penyiaran keagamaan.
Terakhir, pemerintah diharapkan dapat menyusun Pedoman Dakwah Islam Washatiyah yang berkarakter Indonesia. Hal ini demi terciptanya penyiaran keagamaan dan masyarakat Islam yang cenderung moderat. (*)