TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi Partai Hanura Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengadakan Focus Group Discussion (FGD) guna menyikapi usulan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PPAD).
FGD yang mengusung tema "Seberapa Pentingkah RUU Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PPAD)?" ini diadakan, Senin (26/11/2018) di Ruang Rapat Fraksi Partai Hanura, Lt.16, Gedung Nusantara 1, DPR RI.
Pelaksanaan FGD ini menghadirkan sejumlah pakar dan narasumber yakni, Dr. Sumarsono, MDM (Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia), Lisbon Sirait (Direktur Pendapatan dan Kapasitas Keuangan Daerah Direktirat Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia), Robert Endi Jaweng (Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), dan Drs. Sudiro Asno, Ak (Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Hanura).
Sumarsono dalam pemaparan materinya menjelaskan, dalam perspektif Makro urgensi dari penyelenggaraan otonomi daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, peningkatan pelayanan, daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing, pemberdayaan peran serta masyarakat.
Terkait dengan pendanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah Sumarsono mengungkapkan sumber pendanaan berasal dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan lain-lain pendapatan yang sah.
Untuk itu Sumarsono menyarankan, guna mengoptimalisasi Pendapatan Asli Daerah diperlukan pendalaman dan penajaman lebih lanjut terkait rencana RUU tentang peningkatan PAD mengingat sudah ada UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Ritribusi Daerah, perlu optimalisasi pelaksanaan pengelolaan kekayaan daerah, pengelolaan BUMD dan pelaksanaan kerja sama dengan pihak ketiga serta dalam pengaturan pelaksanaan pengelolaan pendapatan daerah yang sah lainnya, dan sebaiknya lebih fokus pada optimalisasi pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, agar selaras dan mampu menjawab kebutuhan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana UU Nomor 23 Tahun 2014.
"Sebaiknya lebih fokus saja pada optimalisasi pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 dan UU Nomor 33 Tahun 2004, agar selaras dan mampu menjawab kebutuhan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana UU Nomor 23 Tahun 2014, sebab kalau ada UU PPAD Maka dampaknya ada ratusan perda akan direvisi," kata Sumarsono.
Sementara Lisbon Sirait dalam materinya mengatakan, strategi optimalisasi pajak daerah diperlukan perbaikan basis data perpajakan, penyesuaian dasar pengenaan pajak, penegakan hukum yang lebih kuat, modernisasi pelayanan perpajakan, penilaian, penagihan, pemeriksaan dan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM).
Sedangkan Narasumber lain Robert Endi Jaweng mengatakan, judul UU Peningkatan Pendapatan tidak mencerminkan substansi yang diatur dan paradigma baru pajak dan retribusi daerah.
Sesungguhnya kata Endi, peningkatan pajak di daerah bukan soal Undang-undangnya tapi persoalan perbaikan sisi administrasinya.
"Dari sisi judul UU Peningkatan Pendapatan tidak mencerminkan substansi yang diatur dan paradigma baru pajak dan retribusi daerah. Sebenarnya peningkatan pajak di daerah itu bukan soal pengaturan perundang-undangnya tapi ini soal perbaikan dari aspek administrasinya, karena di daerah lain justru PADnya bagus karena bagusnya sistem administrasinya," jelas Endi.
Menurut pakar Otonomi Daerah ini, UU Nomor 28 Tahun 2009 sebenarnya sudah puncak dan tidak perlu lagi adanya RUU PPAD tersebut, sebab dalam konteks Otda pajak daerah itu tidak sama dengan pajak pusat
Hal senada juga dikatakan Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Hanura, Sudiro Asno. Menurutnya UU Nomor 28 Tahun 2009 sudah maksimal sehingga tak perlu lagi melahirkan RUU Peningkatan Pendapatan Asli Daerah.
Sudiro menambahkan, untuk memperkuat dan memperbaiki sistem administrasi terkait peningkatan Pajak di daerah maka dipeelukan perbaikan Sumber Daya Manusia (SDM), sebab SDM sangat penting dalam menjalankan sistem tersebut.
Hadirnya RUU PPAD ini dapat mempengaruhi tingginya tarif pajak dan berpotensi menghambat pertumbuhan investasi di daerah. Adanya rentang tarif pajak tidak efektif karena daerah menggunakan tarif maksimum, dan generalisasi tarif pajak akan memberatkan pelaku UMKM.