TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berita bohong atau hoax belakangan ini bak jamur yang merambah ke seluruh arah.
Salah satu yang menjadi momok adalah soal kasus Ratna Sarumpaet yang mengaku-ngaku dianiaya.
Namun demikian, yang terjadi sebaliknya adalah Ratna telah menjalani operasi pelastik muka yang mengakibatkan mukanya lebam seperti habis dipukuli.
"Kami melihat situasi sekarang ini sudah merusak akal sehat dimana orang sudah sulit membedakan antara berita benar dan bohong. Ada yang bicara A, kemudian diklarifikasi tetapi tetap saja (mereka) bicara, karena itu (bagi mereka) berita penting, baik itu kebohongan atau bukan kebohongan," kata Koordinator Jejaring Anti Bohong, Sinnal Blegur dalam acara diskusi di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Baca: Polisi Akan Periksa Lagi Nanik S Deyang hingga Dahnil Anzar Soal Kasus Hoax Ratna Sarumpaet
Situasi saat ini, lanjut dia, sudah sangat bahaya sehingga kebohongan-kebohongan yang dilakukan secara masif.
"Karena kita melihat ini bahaya. Nah kami melihat ini harus dilawan. Apalagi kami punya pengalaman di Orde Baru. Kalau teman-teman belum merasakan, kami rata-rata adalah aktivis yang merasakan Orde Baru," kata dia.
JAB, kata dia, memposisikan diri untuk melawan kebohongan-kebohongan jelang Pilpres.
"Kami tegas melawan itu," kata dia.
Selain kasus Ratna Sarumpaet muncul kebohongan-kebohongan selanjutnya seperti soal data 25 juta pemilih ganda, tuduhan kepada Jokowi PKI, Jokowi mengkriminalisasi ulama dan anti Islam.
"Data itu bukan sebenarnya. Itu bukan kebohongan yang tak sengaja, misal lagi soal di UI profesor cuma 1 tapi sebenarnya ada 5. Itu bukan tanpa didisain, tapi memang didisain," kata dia melanjutkan.
Itu semua, kata dia, dilakukan bukan tanpa tujuan. Tujuannya diduga untuk kepentingan di Pilpres 2019.
"Ini memang bukan urusan penting, tetapi yang paling penting adalah, ini dilakukan menuju Pilpres 2019," ujar dia.