TRIBUNNEWS.COM, JEMBER - Ketua Komisi Yudisial (KY) RI, Jaja Ahmad Jayus mendorong putusan majelis hakim KY terhadap kasus indikasi pelanggaran oleh hakim tidak sebatas rekomendasi namun sanksi yang bersifat final.
Demikian ditegaskan oleh Jaja Ahmad Jayus dalam penutup pidatonya di acara Konferensi Hukum Nasional : Refleksi Hukum 2018 dan Proyeksi Hukum 2019 bertema Legislasi dan Kekuasaan Kehakiman di Jember, Kamis (6/12/2018).
"Kami mendorong bagaimana sanksi yang diputuskan oleh KY tidak hanya rekomendasi seperti dalam UU yang ada saat ini, namun nanti bersifat sanksi final. Ini perlunya peningkatan untuk memperkuat KY. KY tentunya juga mendorong peradilan yang independen namun akuntabel," tegas Jaja.
Karenanya Jaja berharap diskusi perihal itu muncul dalam Konferensi Hukum Nasional yang digelar oleh Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Menurutnya, sanksi final dari hakim KY dalam memutus perkara pelanggaran etik hakim itu penting sebagai bentuk penguatan pengawasan bagi warga peradilan.
Jaja menuturkan dari tahun 2009 hingga 2018 ini terdapat 51 perkara yang disidangkan oleh majelis kehormatan hakim (MKH). 21 perkara di antaranya adalah hakim yang menerima gratifikasi dan suap akibat pertemuan dengan para pihak (seperti pengacara).
Di sisi lain, saat ini tidak sedikit hakim dan pegawai lembaga peradilan yang terkena operasi tangkap tangan (OTT), misalnya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Tentunya saya prihatin dengan kondisi kondisi kehakiman kita saat ini. Karenanya baik KY maupun MA (Mahkamah Agung) harus bertindak, seperti penguatan peran KY dalam mengemban amanat konstitusi dan perundang-undangan."
"Sifat kewenangan yang masih terbatas perlu diberikan kewenangan terutama dalam hal sanksi menjadi kewenangan yang final bukan sekadar rekomondasi. Untuk semua pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim," tegas Jaja.
Dia menegaskan perlunya juga pemeriksaan bersama dengan MA untuk memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Sebab di tahun 2018 ini tidak ada perkara yang diperiksa bersama antara KY dan MA, meskipun perangkat pemeriksaan bersama itu ada.
Hal ini berbeda dengan tahun 2017 ada 12 pelaporan yang diperiksa bersama, dan 21 pelaporan yang diperiksa bersama oleh KY dan MA di tahun 2016.
Sementara itu sampai mulai Januari hingga 31 Oktober 2018, KY menerima 1.409 pelaporan. Dari jumlah pelaporan itu 416 di antaranya diregister.
Menurut Jaja, dalam setahun kewajiban registrasi pelaporan di KY sebanyak 400 pelaporan.
"Nah tahun 2018 ini jumlah pelaporan yang diregister sudah lebih dari kewajiban 400 pelaporan yakni sebanyak 416 pelaporan," kata Jaja. Pelaporan yang diregister kemudian ditindaklanjuti adalah laporan yang memenuhi unsur dugaan pelanggaran KEPPH.
Sedangkan pelaporan selama tahun 2017 di Ky mencapai 1.473, dan di tahun 2016 ada 1.682 pelaporan.